HAJI DAN UMRAH
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi
salah satu tugas kelompok mata kuliah
Fiqh Ushul Fiqh
Dosen : Faizal Pikri, SS. M.Ag.
Disusun Oleh Kelompok 5
EVA FATMA YAYUNINGSIH 1138010089
FIRDA LESTARI 1138010106
GAGAN HIDAYAT
1138010111
GITTA OKTAVIANI 1138010113
HANA FITRIYYAH LESTARI 1138010116
AN II C
JURUSAN
ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU
SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG
DJATI
BANDUNG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Shalat
merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah mukallaf dan harus
dikerjakan baik bagi mukimin maupun dalam perjalanan.
Shalat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa mendirikan shalat ,maka ia mendirikan agama (Islam), dan barang siapa meninggalkan shalat,maka ia meruntuhkan agama(Islam).
Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali, berjumlah 17 rakaat. Shalat tersebut merupakan wajib yang harus dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun sakit. Selain shalat wajib ada juga shalat – shalat sunah.
Shalat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa mendirikan shalat ,maka ia mendirikan agama (Islam), dan barang siapa meninggalkan shalat,maka ia meruntuhkan agama(Islam).
Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali, berjumlah 17 rakaat. Shalat tersebut merupakan wajib yang harus dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun sakit. Selain shalat wajib ada juga shalat – shalat sunah.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka bahasan
tentang shalat dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa pengertian dari shalat itu?
2. Apa saja macam-macam
shalat Fardhu?
3. Apa saja yang termasuk Rukun shalat?
4. Apa saja hal-hal yang merusak atau membatalkan shalat?
5. Pengertian
shalat sunnah?
6. Macam-macam
shalat sunnah?
1.3.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas
maka tujuan dari penulisan makalah ini pertama untuk memenuhi tugas mata Pelajaran Ushul
Fiqih,
kemudian supaya kita bisa mempelajari dan memahami apa saja yang
terkandung dalam shalat itu dengan harapan kita bisa mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1. Pengertian Sholat
Asal makna salat
menurut bahasa Arab ialah “doa”, tetapi yang dimaksdu disini adalah “ibadat
yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir,
disudahi dengan salam, dan memenuhi beberapa syarat yang ditentukan”.
Firman Allah Swt :
“dan dirikanlah
salat, sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan
mungkar.” (Al- Ankabut : 45).
2.
2 Tata-cara sahalt Fardu
1. Salat Fardu ( Salat Lima Waktu )
Salat yang iwajibkan bagi tiap-tiap orang yang dewasa
dan berakal ialah lima kali sehari semalam. Mula-mula turunnya perintah wajib
salat itu ialah pada malam isra’, setahun sebelum tahun hijriah. Berikut ini
Perbuatan sunat sebelum salat lima waktu, yakni
a.
Azan
Asal makna azan ialah “ memebritahukan”. Yang di
maksud disini ialah “ memberi tahukan bahwa waktu salat telah tiba dengan lafz
yang ditentukan oleh syara’”. Dalqm lafaz azan itu terdaapat pengertian yang
mengandung beberapa maksud penting, yaitu sebagai akidah, sperti adanya Allah
yang maha besar bersifat esa, tidak ada sekutu baginya-Nya; serta menerangkan
bahwa Nabi Muhammad S.a.w adalah utusan Allah yang cerdik dan bijaksana untuk
menrima wahyu dari Allah sesudah kita bersaksi bahwa tiadda tuhan melainkan
Allah dan Nabi Muhammad utusan-Nya, kita diajak mentaati perintah-Nya, yakni
mengerjakan salat,kemudian diajak pula pada kemenangan dunia dan akhirat.
Akhirnya disudahi dengan kalimat tauhid.
Azan
dimaksudkan untuk memberithukan bahwa waktu salat telah tiba dan mnyerukan
untuk melakukan salat berjama’ah. Selain itu untuk mensyiarkan agama islam
dimuka umum.
Firman Allah S.wt :
“ hai orang-org
yang beriman apabila kamu kamu di seru untuk menunaikan solat padaa hari
jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (shalat) dan tinggalkanah
jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimi juka kamu mengetahui.” (al- jumuah : 9)
Ulama
berselisih pendapat tentang hukum Adzan. Sebagian ulama mengatakan bahwa hukum
azan adalah sunnah muakkad, namun pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini
adalah pendapat yang mengatakan hukum azan adalah fardu kifayah.
Akan tetapi perlu diingat, hukum ini hanya berlaku bagi laki-laki. Wanita tidak
diwajibkan atau pun disunnahkan untuk melakukan adzan, ini. Ulama yang berpendapat
tentang hukum ini diantaranya adalah Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i,
Ishaq, Abu Tsauri, Abu Yusuf, dan Ibnu Hazm.
b.
Iqomah
Iqamah
secara istilah maknanya adalah pemberitahuan atau seruan bahwa sholat akan
segera didirikan dengan menyebut lafazh-lafazh khusus.Hukum iqamah sama dengan
hukum adzan, yaitu fardu kifayah. Dan hukum ini juga tidak berlaku untuk
wanita.Ulama’ yang berpendapat bahwa adzan hukumnya adalah fardu kifayah maka
mereka juga berpendapat iqomah hukumnya adalah fardu kifayah. Begitu juga
dengan ulama’ yang berpendapat bahwa adzan itu sunnah muakkad, maka iqomah juga
sunnah muakkad karena keduanya mejadi syiar islam. Rosulallah Saw bersabda “ apabila dating waktu salat, hendaklah
azan seoramg di antara kamu, dan hendaklah yang tertua di antara kamu menjadi
imam.” (HR Bukhari dan Muslim).
Azan dan iqomah hanya di syriatkan untuk salat fardu (salat lima
waktu), aik salat berjama’ah maupun salat sendiri. Rosulallah Saw bersabda : “
apabila engkau sedang mengurus kambing atau ditengah padang, maka azanlah untuk
(menyerukan) salat, dan keraskan suaramu dengan seruan itu. Karena sesungguhnya
jin, manusia, dan apapun yang mendengar selama suara orang azan itu, pada hari
kiamat nanati akan menjadi saksi baginya.” (HR. Bukhari).
Selain iqomah untuk laki-laki adapun iqomah untuk perempuan, bagi
jamaah perempuan , menurut kata yang mashyur menurut mazhab syafi’I, disunatkan
iqomah saja; aza tidak disunatkan karena azan itu di ucapkan dengan suara
nyaring (keras), Hal itu tidak layak bagi perempuan, sebab dikhawatirkan
menjadi fitnah bagi pendengar.
3.
Syarat-syarat Azan dan Iqomah
1.
Orang
yang menyerukan azan dan iqomah itu hendaklah orang yang sudah mumayiz
(berakal).
2.
Hendaklah
dilakukan sesudah masuk waktu salat.
3.
Orang
yang azan dan iqomah itu hendaklah orang islam (muslim).
4.
Kalimat
azan dan iqomah hendaklah berturut-turut .
5.
Tertib.
Selain dari
syarat-syarat tersebut, adapun ada beberapa hal yag disunatkan dalam azan dan
iqomah, yakni :
1.
Menghadap
qiblat
2.
Hendaklah
berdiri karena dengan berdiri itu lebih pantas dalam arti pemberitahuan.
3.
Hendaklah
dilakukan ditempat yang tiggi agar lebih terdengar
4.
Muazin
hendaklah yang baik dank eras suaranya, agar lebih banyak menarik pendengar ke
tempat salat.
5.
Suci
dari hadats dan najis
6.
Membaca
shalawat ats Nabi Saw. Sesudah selesai azan.
7.
Disunatkan
membaca doa di antara azan dan iqomah.
4.
Membatasi Tempat Salat
Diantara beberapaa hal
yang dilakukan sebelum salat ialah membatasi tempat salat dengan dinding,
dengan tongkat, dengan menghamparkaan sejadah (tikar untuk salat) atau dengan
garis, supaya orang tidak lewat didepan orang yang sedanag salat, sebab orang yang
kewat di depan orang salat itu hukumnya haram. Rosulallah Saw bersabda
“ kalau orang yang lewat di depan orang salat mengetahui dosa yang
akan idapatinya, tentu lebih baik ia berhenti (menanti) empat puluh tahun daripada
lewat depan orang salat.” (Sepakat ahli hadits).
5.
Waktu Salat Fardu
Firman Allah
Swt :
إِنَّ
الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya
shalat itu merupakan kewajiban yang ditetapkan waktunya bagi kaum mukminin.”
(An-Nisa`: 103)
أَقِمِ
الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ
إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
“Dirikanlah
shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikan pula
shalat subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan oleh malaikat.”
(Al-Isra`: 78)
Shalat dianggap
sah dikerjakan apabila telah masuk waktunya. Dan shalat yang dikerjakan pada
waktunya ini memiliki keutamaan sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abdullah
bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
سَأَلْتُ
النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم: أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ:
الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: بِرُّ الْوَالِدَيْنِ.
قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
Aku pernah
bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amal apakah yang paling
dicintai oleh Allah?” Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya.” “Kemudian amalan
apa?” tanya Ibnu Mas`ud. “Berbuat baik kepada kedua orangtua,” jawab beliau.
“Kemudian amal apa?” tanya Ibnu Mas’ud lagi. “Jihad fi sabilillah,” jawab
beliau.”
(HR. Al-Bukhari no. 527 dan Muslim no. 248).
a.
Shalat Fajar atau Shalat Subuh
Shalat subuh ini memiliki dua nama
yaitu fajar dan subuh. Al-Qur`an menyebutkan dengan nama shalat fajar sedangkan
As-Sunnah kadang menyebutnya dengan nama fajar dan di tempat lain disebutkan
dengan nama subuh. (Al-Majmu’, 3/48)
Awal waktu shalat fajar
adalah saat terbitnya fajar kedua atau fajar shadiq1 sebagaimana ditunjukkan
dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam biasa mengerjakan shalat ini di waktu ghalas, bahkan terkadang beliau
selesai dari shalat fajar dalam keadaan alam sekitar masih gelap (waktu
ghalas), sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:
كُنَّا نِسَاءُ
الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَلاَةَ
الْفَجْرِ مُتَعَلِّفَاتٍ بِمُرُوْطِهِنَّ، ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى
بُيُوْتِهِنَّ حِيْنَ يَقْضِيْنَ الصَّلاَةَ لاَ يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ
الْغَلَسِ
“Kami
wanita-wanita mukminah ikut menghadiri shalat fajar bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berselimut (menyelubungi tubuh)
dengan kain-kain kami, kemudian mereka (para wanita tersebut) kembali ke
rumah-rumah mereka ketika mereka selesai menunaikan shalat dalam keadaan tidak
ada seorang pun mengenali mereka karena waktu ghalas (sisa gelapnya malam).” (HR.
Al-Bukhari no. 578 dan Muslim no. 1455)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu
berkata, “Hadits ini menunjukkan disunnahkannya bersegera dalam mengerjakan
shalat subuh di awal waktu.” (Fathul Bari, 2/74.
Demikian pula
yang dikatakan Al-Imam Nawawi rahimahullahu. Dan ini merupakan mazhab Malik,
Asy-Syafi’i, Ahmad dan jumhur, menyelisihi Abu Hanifah yang berpendapat bahwa
isfar (waktu sudah terang) lebih utama/afdhal. (Al-Minhaj, 5/145)
Al-Imam Ibnu Qudamah
rahimahullahu berkata, “Adapun shalat subuh maka dikerjakan waktu ghalas lebih
afdhal. Demikian pendapat Malik, Asy-Syafi’i, dan Ishaq2 rahimahumullah. Juga
diriwayatkan dari Abu Bakr, ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Musa, Ibnuz Zubair, dan ‘Umar
bin Abdil ‘Aziz apa yang menunjukkan hal tersebut. Ibnu Abdil Bar
rahimahullahu3 berkata, “Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dari Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman g, bahwa mereka semuanya mengerjakan shalat
subuh di waktu ghalas. Dan suatu hal yang mustahil bila mereka meninggalkan
yang afdhal dan melakukan yang tidak afdhal, sementara mereka adalah
orang-orang yang puncak dalam mengerjakan perkara-perkara yang afdhal. Diriwayatkan
dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu, beliau berpandangan bahwa yang utama adalah
melihat keadaan makmum. Bila mereka berkumpul di waktu isfar maka yang afdal
mengerjakannya di waktu isfar karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan perbuatan yang seperti ini dengan melihat berkumpulnya jamaah dalam
penunaian shalat isya, sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu.
Sehingga demikian pula yang berlaku pada shalat fajar. Ats-Tsauri dan ashabur
ra`yi berkata, “Yang afdal shalat subuh dikerjakan waktu isfar dengan dalil
hadits yang diriwayatkan oleh Rafi’ ibnu Khadij, ia berkata, “Aku pernah
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَسْفِرُوْا
بِالْفَجْرِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلْأَجْرِ
“Lakukanlah
shalat fajar dalam keadaan isfar (sudah terang), karena hal itu lebih
memperbesar pahala.” (Al-Mughni, Kitab Ash-Shalah, Fashl At-Taghlis li
Shalatish Shubhi)4
Adapun hadits asfiru bil
fajri di atas maknanya/tafsirnya adalah “Hendaklah kalian selesai dari
mengerjakan shalat fajar pada waktu isfar (karena shalat yang demikian lebih
besar pahalanya).” Bukan awal masuknya ke shalat fajar, tapi akhir
dari mengerjakan shalat fajar. Caranya tentu dengan memanjangkan bacaan dalam
shalat ini. Bukan perintah untuk mengerjakan shalat subuh di waktu isfar. Hal
ini sebagaimana juga dijelaskan dari riwayat bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah selesai dari shalat fajar ini pada waktu isfar (hari
sudah terang), tatkala seseorang sudah mengenali wajah teman duduknya.
Sebagaimana kata Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, “Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam selesai dari shalat subuh tatkala seseorang telah mengenali
siapa yang duduk di sebelahnya5.” (HR. Al-Bukhari no. 541 dan Muslim no. 1460)
Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu berkata, “Hadits di atas memang harus, mau tidak mau, ditafsirkan/dimaknakan
seperti ini, agar sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mencocoki
perbuatan beliau yang terus beliau lakukan, berupa masuk ke dalam penunaian
shalat subuh di waktu ghalas sebagaimana telah lewat. Makna ini yang dikuatkan
oleh Al-Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam I’lamul Muwaqqi’in. Dan yang
mendahului Ibnul Qayyim dalam pentarjihan ini adalah Al-Imam Ath-Thahawi dari
kalangan Hanafiyyah, dan beliau panjang lebar dalam menetapkan hal ini
(1/104-109). Beliau berkata, “Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf,
dan Muhammad.” Walaupun apa yang dinukilkan oleh Ath-Thahawi dari tiga imam ini
menyelisihi pendapat yang masyhur dari mazhab mereka dalam kitab-kitab mazhab
yang menetapkan disunnahkannya memulai shalat subuh di waktu isfar.”
(Ats-Tsamarul Mustathab, 1/81)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kenyataannya memang tidak pernah mengerjakan
shalat fajar ini di waktu isfar kecuali hanya sekali. Dalam hadits Abu Mas’ud
Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu disebutkan:
وَصَلَّى
الصُّبْحَ مَرَّةً بِغَلَسٍ، ثُمَّ صَلَّى مَرَّةً أُخْرَى فَأَسْفَرَ بِهَا ثُمَّ
كَانَتْ صَلاَتُهُ بَعْدَ ذَلِكَ الْغَلَسَ حَتَّى مَاتَ لَمْ يَعُدْ إِلَى أَنْ
يُسْفِرَ
“Rasulullah
sekali waktu shalat subuh pada waktu ghalas lalu pada kali lain beliau mengerjakannya
di waktu isfar. Kemudian shalat subuh beliau setelah itu beliau kerjakan di
waktu ghalas hingga beliau meninggal, beliau tidak pernah lagi mengulangi
pelaksanaannya di waktu isfar.” (HR. Abu Dawud no. 394, dihasankan Al-Imam
Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud).
a). Awal Waktu
SholatShubuh/Fajar
Para
ulama sepakat bahwa awal waktu sholat fajar dimulai sejak terbitnya fajar
kedua/fajar shodiq.
Akhir Waktu
SholatShubuh/Fajar
Para
ulama juga sepakat bahwa akhir waktu sholat fajar dimulai sejak terbitnya
matahari.
Disunnahkan Menyegerakan
Waktu SholatShubuh/Fajar Pada Saat Keadaan Gholas (Gelap yang Bercampur Putih)
Jumhur
ulama’ berpendapat lebih utama melaksanakan sholat fajar pada saat gholas dari
pada melaksanakannya ketika ishfar (cahaya putih telah semakin terang).
Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam
Ahmad, Ishaq dan Abu Tsaur rohimahumullah. Diantara dalil mereka adalah hadits
yang diriwayatkan dari Anas bin Malik,
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – غَزَا خَيْبَرَ ، فَصَلَّيْنَا عِنْدَهَا
صَلاَةَ الْغَدَاةِ بِغَلَسٍ
“Sesungguhnya
Rosulullah shallallahu
‘alaihi was sallam berperang pada perang Khoibar, maka kami sholat
ghodah (fajar) di Khoibar pada saat gholas”. (HR. Bukhori No.
371, Muslim No. 1365.)
b). Salat Zuhur
Secara
bahasa Zhuhur berarti waktu Zawal yaitu waktu tergelincirnya matahari (waktu
matahari bergeser dari tengah-tengah langit) menuju arah tenggelamnya
(barat).Sholat zhuhur adalah sholat yang dikerjakan ketika waktu zhuhur telah
masuk. Sholat zhuhur disebut juga sholat Al Uulaa (الأُوْلَى) karena sholat yang pertama kali
dikerjakan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam bersama
Jibril ‘Alaihis
salam. Disebut juga sholat Al Hijriyah (الحِجْرِيَةُ).
Awal Waktu Sholat Zhuhur
Awal waktu zhuhur adalah ketika
matahari telah bergeser dari tengah langit menuju arah tenggelamnya (barat).
Hal ini merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin, dalilnya adalah hadits
Nabi Shollallahu
‘alaihi was sallam dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu
‘anhu,
وَقْتُ
الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ
يَحْضُرِ الْعَصْرُ……..
“Waktu
Sholat Zhuhur adalah ketika telah tergelincir matahari (menuju arah
tenggelamnya) hingga bayangan seseorang sebagaimana tingginya selama belum
masuk waktu ‘Ashar……….”. (HR. Muslim No. 612)
Akhir Waktu Sholat Zhuhur
Para
ulama bersilisih pendapat mengenai akhir waktu zhuhur namun pendapat yang lebih
tepat dan ini adalah pendapat jumhur/mayoritas ulama adalah hingga panjang
bayang-bayang seseorang semisal dengan tingginya (masuknya waktu ‘ashar). Dalil
pendapat ini adalah hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam dari
sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu di atas. Waktu
sholat zhuhur dapat diketahui dengan menghitung waktu yaitu dengan menghitung
waktu antara terbitnya matahari hingga tenggelamnya maka waktu zhuhur dapat
diketahui dengan membagi duanya.
c). Sholat ‘Ashar
‘Ashar
secara bahasa diartikan sebagai waktu sore hingga matahari memerah yaitu akhir
dari dalam sehari.Sholat ‘ashar adalah sholat ketika telah masuk waktu ‘ashar,
sholat ‘ashar ini juga disebut sholat woshtho (الوُسْطَى).
-
Awal Waktu Sholat ‘Ashar
Jika
panjang bayangan sesuatu telah semisal dengan tingginya (menurut pendapat
jumhur ulama). Dalilnya adalah hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
وَقْتُ
الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ
يَحْضُرِ الْعَصْرُ وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ…….
“Waktu
Sholat Zhuhur adalah ketika telah tergelincir matahari (menuju arah
tenggelamnya) hingga bayangan seseorang sebagaimana tingginya selama belum
masuk waktu ‘ashar dan waktu ‘ashar masih tetap ada selama matahari belum
menguning………”. (HR. Muslim No. 618).
-
Akhir Waktu Sholat ‘Ashar
Hadits-hadits
tentang masalah akhir waktu ‘ashar seolah-olah terlihat saling bertentangan.
Dalam
hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah rodhiyallahu ‘anhu ketika Jibril ‘alihissalam
menjadi imam bagi Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
جَاءَ
جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
حِينَ زَالَتْ الشَّمْسُ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلِّ الظُّهْرَ حِينَ
مَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ مَكَثَ حَتَّى إِذَا كَانَ فَيْءُ الرَّجُلِ مِثْلَهُ
جَاءَهُ لِلْعَصْرِ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلِّ الْعَصْرَ ثُمَّ مَكَثَ
حَتَّى إِذَا غَابَتْ الشَّمْسُ……مَا بَيْنَ هَذَيْنِ وَقْتٌ كُلُّهُ
“Jibril
mendatangi Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam ketika
matahari telah tergelincir ke arah tenggelamnya kemudian dia mengatakan,
“Berdirilah wahai Muhammad kemudian shola zhuhur lah. Kemudian ia diam hingga
saat panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya. Jibril datang kemudian
mengatakan, “Wahai Muhammad berdirilah sholat ‘ashar lah”. Kemudian ia diam
hingga matahari tenggelam. diantara dua waktu ini adalah dua waktu sholat
seluruhnya” (HR. Bukhori No. 906 dan Muslim No. 615.)
Dalam
hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu
‘anhu,
وَوَقْتُ
الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ
“Dan
waktu ‘ashar masih tetap ada selama matahari belum menguning………” (HR.
Muslim No. 612).
Hadits
Nabi Shollallahu
‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari sahabat Abu Huroiroh rodhiyallahu
‘anhu,
مَنْ
أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ
الْعَصْرَ
“Barangsiapa
yang mendapati satu roka’at sholat ‘ashar sebelum matahari tenggelam maka ia
telah mendapatkan sholat ‘ashar”. (HR. Bukhori No. 579 dan Muslim No.
608.)
Kompromi
dalam memahami ketiga hadits yang seolah-olah saling bertentangan ini adalah :
Hadits
tentang sholat Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dan
Jibril ‘Alaihissalam
dipahami sebagai penjelasan tentang akhir waktu terbaik dalam melaksanakan
sholat ‘ashar. Adapun hadits ‘Abdullah bin ‘Amr dipahami sebagai penjelasan
atas waktu pelaksanaan sholat ‘ashar yang masih boleh. Sedangkan waktu hadits
Abu Huroiroh sebagai penjelasan tentang waktu pelaksanaan sholat ‘ashar jika
terdesak artinya makruh mengerjakan sholat ‘ashar pada waktu ini kecuali bagi
orang yang memiliki udzur maka mengerjakan sholat ‘ashar pada waktu itu
hukumnya tidak makruh. Allahu a’lam.
Disunnahkan Hukmnya
Menyegerakan Sholat ‘Ashar
Hal ini
berdasarkan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam yang
diriwayatkan dari Sahabat Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ
حَيَّةٌ
“Rosulullah
shollallahu
‘alaihi was sallam sering melaksanakan sholat ‘ashar ketika
matahari masih tinggi”(HR. Bukhori No. 550 dan Muslim No. 621.)
Sunnah
ini lebih dikuatkan ketika mendung, hal ini berdasarkah hadits yang
diriwayatkan dari Sahabat Abul Mulaih rodhiyallahu ‘anhu. Dia mengatakan,
كُنَّا
مَعَ بُرَيْدَةَ فِى غَزْوَةٍ فِى يَوْمٍ ذِى غَيْمٍ فَقَالَ بَكِّرُوا بِصَلاَةِ
الْعَصْرِ فَإِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ
الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ
“Kami
bersama Buraidah pada saat perang di hari yang mendung. Kemudian ia mengatakan,
“Segerakanlah sholat ‘ashar karena Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam mengatakan,
“Barangsiapa yang meninggalkan sholat ‘ashar maka amalnya telah batal”. (HR.
Bukhori No. 553.). Hadits ini juga menunjukkan betapa bahayanya
meninggalkan sholat ‘ashar.
d). Sholat Maghrib
Secara
bahasa maghrib berarti waktu dan arah tempat tenggelamnya matahari. Sholat
maghrib adalah sholat yang dilaksanakan pada waktu tenggelamnya matahari.
Awal Waktu Sholat Maghrib
Kaum
Muslimin sepakat awal waktu sholat maghrib adalah ketika matahari telah
tenggelam hingga matahari benar-benar tenggelam sempurna.
Akhir Waktu Sholat Maghrib
Para
ulama berselisih pendapat mengenai akhir waktu maghrib.Pendapat pertama
mengatakan bahwa waktu maghrib hanya merupakan satu waktu saja yaitu sekadar
waktu yang diperlukan orang yang akan sholat untuk bersuci, menutup aurot,
melakukan adzan, iqomah dan melaksanakan sholat maghrib. Pendapat ini adalah
pendapat Malikiyah, Al Auza’i dan Imam Syafi’i. Dalil pendapat ini adalah
hadits yang diriwayatkan dari Jabir ketika Jibril mengajarkan Nabi shallallahu
‘alaihi was sallam sholat,
ثُمَّ
جَاءَهُ لِلْمَغْرِبِ حِينَ غَابَتْ الشَّمْسُ وَقْتًا وَاحِدًا لَمْ يَزُلْ
عَنْهُ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّ فَصَلَّى الْمَغْرِب
“Kemudian
Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam ketika matahari telah
tenggelam (sama dengan waktu ketika Jibril mengajarkan sholat kepada Nabi pada
hari sebelumnya) kemudian dia mengatakan, “Wahai Muhammad berdirilah
laksanakanlah sholat maghrib………..” (HR. Nasa’i No. 526, hadits ini
dinilai shahih oleh Al Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal.
270/I.).
Pendapat
kedua mengatakan bahwa akhir waktu maghrib adalah ketika telah hilang sinar
merah ketika matahari tenggelam. Pendapat ini adalah pendapatnya Sufyan Ats
Tsauri, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Mahzab Hanafi serta sebahagian mazhab
Syafi’i dan inilah pendapat yang dinilai tepat oleh An Nawawi rohimahumullah.
Dalilnya adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,
….وَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ…..
“Waktu
sholat maghrib adalah selama belum hilang sinar merah ketika matahari
tenggelam”. (HR Muslim no. 612).
d). Sholat ‘Isya’
‘Isya’
adalah sebuah nama untuk saat awal langit mulai gelap (setelah maghrib) hingga
sepertiga malam yang awal. Sholat ‘isya’ disebut demikian karena dikerjakan
pada waktu tersebut.
Awal Waktu Sholat ‘Isya’
Para
ulama sepakat bahwa awal waktu sholat ‘isya’ adalah jika telah hilang sinar
merah di langit.
Akhir Waktu Sholat ‘Isya’
Para ulama’ berselisih pendapat
mengenai akhir waktu sholat ‘isya’.Pendapat pertama mengatakan bahwa akhir
waktu sholat ‘isya’ adalah sepertiga malam. Ini adalah pendapatnya Imam Syafi’i
dalam al Qoul Jadid, Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dalam mazhab Maliki.
Dalilnya adalah hadits ketika Jibril mengimami sholat Nabi shallallahu
‘alaihi was sallam,
….ثُمَّ جَاءَهُ لِلْعِشَاءِ حِينَ ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ
الْأَوَّلُ…..
“……Kemudian
Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam
untuk melaksanakan sholat ‘isya’ ketika sepertiga malam yang pertama………..”. (HR.
Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al Albani rohimahullah dalam
Al Irwa’ hal. 270/I.)
Pendapat
kedua mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah setengah malam. Inilah
pendapatnya Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarok, Ishaq, Abu Tsaur, Mazhab Hanafi
dan Ibnu Hazm rohimahumullah. Dalil pendapat ini
adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu
‘anhu,
…وَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الأَوْسَطِ….
“Waktu
sholat ‘isya’ adalah hingga setengah malam”. (HR. Muslim No. 612.)
Pendapat
ketiga mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah ketika terbit fajar
shodiq. Inilah pendapatnya ‘Atho’, ‘Ikrimah, Dawud Adz Dzohiri, salah satu
riwayat dari Ibnu Abbas, Abu Huroiroh dan Ibnul Mundzir Rohimahumullah.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Qotadah rodhiyallahu
‘anhu,
…إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلاَةَ
حَتَّى يَجِىءَ وَقْتُ الصَّلاَةِ الأُخْرَى….
“Hanyalah
orang-orang yang terlalu menganggap remeh agama adalah orang yang tidak
mengerjakan sholat hingga tiba waktu sholat lain”. (HR. Muslim No. 681.)
Pendapat
yang tepat menurut Syaukani dalam masalah ini adalah akhir waktu sholat ‘isya’
yang terbaik adalah hingga setengah malam berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr
sedangkan batas waktu bolehnya mengerjakan sholat ‘isya’ adalah hingga terbit
fajar berdasarkan hadits Abu Qotadah. Sedangkan pendapat yang dinilai lebih
kuat menurut Penulis Shahih Fiqh Sunnah adalah setengah malam jika hadits Anas
adalah hadits yang tidak shohih.
Disunnahkan Mengakhirkan
Sholat ‘Isya’
Hal ini
berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
لَوْلاَ
أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ أَنْ يُؤَخِّرُوا الْعِشَاءَ إِلَى
ثُلُثِ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفِهِ
“Jika
sekiranya tidak memberatkan ummatku maka akan aku perintah agar mereka
mengakhirkan sholat ‘isya’ hingga sepertiga atau setengah malam”. (HR.
Tirmidzi No. 167, Ibnu Majah No. 691, dinyatakan shohih oleh Al Albani di
Takhrij Sunan Tirmidzi.)
Akan
tetapi hal ini tidak selalu dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam, sebagaimana
dalam hadits yang lain,
وَالْعِشَاءُ
أَحْيَانًا يُقَدِّمُهَا ، وَأَحْيَانًا يُؤَخِّرُهَا : إذَا رَآهُمْ اجْتَمَعُوا
عَجَّلَ ، وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَئُوا أَخَّرَ
“Terkadang
(Nabi) menyegerakan sholat isya dan terkadang juga mengakhirkannya. Jika mereka
telah terlihat terkumpul maa segerakanlah dan jika terlihat (lambat datang ke
masjid)”. (HR. Bukhori No. 560, Muslim No. 233.)
Dimakruhkan Tidur Sebelum
Sholat ‘Isya’ dan Berbicara yang Tidak Perlu Setelahnya
Hal ini
berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
كَانَ
يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
“Nabi shallallahu
‘alaihi was sallam membenci tidur sebelum sholat ‘isya’ dan
melakukan pembicaraan yang tidak berguna setelahnya. (HR. BukhoriNo.
568, Muslim No. 237.)
2.3. Rukun Shalat Menurut Imam Yang Hanafi,
Maliki, Syafi'i dan Hambali
Shalat mempunyai rukun-rukun yang harus dilakukan sesuai
dengan aturan dan ketentuannya, sehingga apabila tertinggal salah satu darinya,
maka hakikat shalat tersebut tidak mungkin tercapai dan shalat itu pun dianggap
tidak sah menurut syara`.
Menurut Sayyid Sabiq, yang termasuk rukun shalat ada 9 macam, yaitu:
1. Niat.
Hal ini berdasarkan kepada firman Allah SWT:
وَمَااُوْمِرُوااِلّاَلِيُعْبُدُواالله مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ خُنَفَآءَوَيُقِيْمُواالصَّلَوةَوَيُؤْتُواالزَكَوةَوَذَلِكَ دِيْنُ القَيِّمَةِ
Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (al-Bayyinah: 98).
Menurut Sayyid Sabiq, yang termasuk rukun shalat ada 9 macam, yaitu:
1. Niat.
Hal ini berdasarkan kepada firman Allah SWT:
وَمَااُوْمِرُوااِلّاَلِيُعْبُدُواالله مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ خُنَفَآءَوَيُقِيْمُواالصَّلَوةَوَيُؤْتُواالزَكَوةَوَذَلِكَ دِيْنُ القَيِّمَةِ
Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (al-Bayyinah: 98).
Sebenarnya tentang melafalkan
atau mengucapkan niat, misalnya membaca “Ushalli fardla dzuhri arba’a raka’atin
mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala” (Saya berniat melakukan shalat
fardlu dzuhur empat rakaat dengan menghadap kiblat dan tepat pada waktunya
semata-mata karena Allah SWT) pada menjelang takbiratul ihram dalam shalat
dzuhur adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan di kalangan warga NU
(nahdliyin). Tetapi sepertinya menjadi asing dan sesuatu yang disoal
oleh sebagian kalangan yang tidak sepemahaman dengan warga nahdliyin
Adapun hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang
takbiratul ihram menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi’iy
(Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah
sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan
hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya Jika seseorang salah dalam melafalkan niat
sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti melafalkan niat shalat ‘Ashar
tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah niatnya bukan lafal
niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat ‘Ashar) bukanlah niat,
ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak mempengaruhi niat dalam
hati sepanjang niatnya itu masih benar.
Menurut Imam Maliki
Menurut pengikut mazhab Imam
Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah (Hanafiyah) bahwa melafalkan
niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali bagi orang
yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri). Menurut
penjelasan Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir menyalahi
keutamaan (khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was
hukum melafalkan niat sebelum shalat adalah sunnah. Sedangkan penjelasan
al Hanafiyah bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir adalah bid’ah, namun
dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi orang yang terkena penyakit
was-was.
Sebenarnya tentang melafalkan niat dalam suatu ibadah wajib pernah
dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan ibadah haji.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ
قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّّمَ يَقُوْلُ
لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً
“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan,
“Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”.” (HR. Muslim).
Memang ketika Nabi Muhammad SAW
melafalkan niat itu dalam menjalankan ibadah haji, bukan shalat, wudlu’ atau
ibadah puasa, tetapi tidak berarti selain haji tidak bisa diqiyaskan atau
dianalogikan sama sekali atau ditutup sama sekali untuk melafalkan niat.
2. Takbiratul Ihram.
Hal ini berdasarkan hadist dari Ali RA berikut ini:
عن علي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: مفتاح الصلاة الطهور، وتحريمها التكبير، وتحليلها التسليم (رواه الدارم
Artinya: Dari Ali RA, Nabi Muhammad SAW bersabda, kunci shalat bersuci, pembukaannya membaca takbir dan penutupannya adalah membaca salam. (H.R. Ad-Darimi).
Takbiratul ihram ini hanya dapat dilakukan dengan membaca lafadz Allahu Akbar.
.
Hal ini berdasarkan hadist dari Ali RA berikut ini:
عن علي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: مفتاح الصلاة الطهور، وتحريمها التكبير، وتحليلها التسليم (رواه الدارم
Artinya: Dari Ali RA, Nabi Muhammad SAW bersabda, kunci shalat bersuci, pembukaannya membaca takbir dan penutupannya adalah membaca salam. (H.R. Ad-Darimi).
Takbiratul ihram ini hanya dapat dilakukan dengan membaca lafadz Allahu Akbar.
.
3. Berdiri Pada Saat
Mengerjakan Shalat Fardhu
Hukum berdiri ketika mengerjakan shalat fardhu adalah wajib. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
عن عمران بن حسين قال: كانت بي بواسير، فسألت النبي صلى الله عليه وسلم عن الصلاة؟ فقال: صل قائما، فإن لم تستطع فقاعدا، فإن لم تستطع فعلى جنب (رواه البخاري
Artinya: Dari Imran bin Husain RA berkata, aku menderita penyakit ambien, lalu aku bertanya kepada Nabi SAW mengenai cara mengerjakan shalat yang harus aku lakukan, Nabi SAW bersabda, “Shalatlah dalam keadaan berdiri, jika engkau tidak mampu, maka laksanakan dalam keadaan duduk, jika engkau tidak mampu melakukannya, maka kerjakanlah dalam keadaan berbaring”. (H.R. Bukhari).
Hukum berdiri ketika mengerjakan shalat fardhu adalah wajib. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
عن عمران بن حسين قال: كانت بي بواسير، فسألت النبي صلى الله عليه وسلم عن الصلاة؟ فقال: صل قائما، فإن لم تستطع فقاعدا، فإن لم تستطع فعلى جنب (رواه البخاري
Artinya: Dari Imran bin Husain RA berkata, aku menderita penyakit ambien, lalu aku bertanya kepada Nabi SAW mengenai cara mengerjakan shalat yang harus aku lakukan, Nabi SAW bersabda, “Shalatlah dalam keadaan berdiri, jika engkau tidak mampu, maka laksanakan dalam keadaan duduk, jika engkau tidak mampu melakukannya, maka kerjakanlah dalam keadaan berbaring”. (H.R. Bukhari).
4. Membaca al-Fatihah
Ada beberapa hadits shahih yang menyatakan kewajiban membaca surat al-Fatihah pada setiap rakaat, baik pada saat mengerjakan shalat fardhu maupun shalat sunnah. Diantaranya:
عن عبادة بن الصامت يبلغ به النبي صلى الله عليه وسلم لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب (رواه مسلم
Artinya: Dari Ubadah bin Shamit RA, Nabi SAW bersabda, “Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca surah Fatihatul-Kitab”. (H.R. Muslim).
Dalam Mazhab Syafi`i, basmallah merupakan satu ayat dari pada surah al-Fatihah, maka membaca bismillah hukumnya adalah wajib.
Ada beberapa hadits shahih yang menyatakan kewajiban membaca surat al-Fatihah pada setiap rakaat, baik pada saat mengerjakan shalat fardhu maupun shalat sunnah. Diantaranya:
عن عبادة بن الصامت يبلغ به النبي صلى الله عليه وسلم لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب (رواه مسلم
Artinya: Dari Ubadah bin Shamit RA, Nabi SAW bersabda, “Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca surah Fatihatul-Kitab”. (H.R. Muslim).
Dalam Mazhab Syafi`i, basmallah merupakan satu ayat dari pada surah al-Fatihah, maka membaca bismillah hukumnya adalah wajib.
5. Ruku’.
Kefardhuanya telah diakui secara ijma`, berdasarkan firman Allah SWT:
يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ أمَنُوااَرْكَعُواوَاسْجُدُواوَاعْبُدُوارَبَّكُمْ وافْعَلُواالخَيْرَلَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah tuhanmu dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. (al-Hajj: 77).
Ruku’ dikatakan sempurna, jika dilakukan dengan cara membungkukkan tubuh, dimana kedua tangan dapat mencapai dan memegang kedua lutut.
Kefardhuanya telah diakui secara ijma`, berdasarkan firman Allah SWT:
يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ أمَنُوااَرْكَعُواوَاسْجُدُواوَاعْبُدُوارَبَّكُمْ وافْعَلُواالخَيْرَلَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah tuhanmu dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. (al-Hajj: 77).
Ruku’ dikatakan sempurna, jika dilakukan dengan cara membungkukkan tubuh, dimana kedua tangan dapat mencapai dan memegang kedua lutut.
6. Bangkit dari ruku’ dan berdiri lurus (i’tidal)
disertai thuma’ninah.
7. Sujud.
Anggota-anggota sujud adalah kening, hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut dan kedua telapak kaki.
Anggota-anggota sujud adalah kening, hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut dan kedua telapak kaki.
8. Duduk yang terakhir sambil membaca tasyahhud.
9. Memberi salam.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa memberi salam yang pertama adalah wajib, sedangkan salam yang kedua hukumnya adalah sunnah. Ibnu Munzir mengatakan para ulama berijma’ bahwa seseorang dibolehkan mengucapkan satu kali salam saja ketika dalam shalatnya. Para ulama mazhab yang empat berbeda pendapat dalam menetapkan rukun shalat. Bahkan golongan Hanafiah membedakan lagi antara rukun dan wajib shalat, rukun shalat menurut mereka hanya enam, yaitu:
1. Takbirat al-ihram.
2. Berdiri.
3. Membaca al-Qur`an.
4. Ruku’.
5. Sujud.
6. Duduk terakhir sekedar membaca tasyahud.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa memberi salam yang pertama adalah wajib, sedangkan salam yang kedua hukumnya adalah sunnah. Ibnu Munzir mengatakan para ulama berijma’ bahwa seseorang dibolehkan mengucapkan satu kali salam saja ketika dalam shalatnya. Para ulama mazhab yang empat berbeda pendapat dalam menetapkan rukun shalat. Bahkan golongan Hanafiah membedakan lagi antara rukun dan wajib shalat, rukun shalat menurut mereka hanya enam, yaitu:
1. Takbirat al-ihram.
2. Berdiri.
3. Membaca al-Qur`an.
4. Ruku’.
5. Sujud.
6. Duduk terakhir sekedar membaca tasyahud.
2.4. Menurut
golongan Malikiyah rukun shalat tiga belas macam, yaitu:
1. Niat.
2. Takbirat al-ihram.
3. Berdiri waktu takbiratul al-ihram pada shalat fardhu.
4. Membaca al-Fatihah dalam shalat berjama`ah dan shalat sendirian.
5. Berdiri waktu membaca al-Fatihah.
6. Ruku’.
7. Bangkit dari ruku’.
8. Sujud.
9. Duduk antara dua sujud.
10.Mengucapkan salam.
11.Duduk di waktu mengucapkan salam.
12.Tuma’ninah pada seluruh rukun.
13.I’tidal sesudah ruku’ dan sujud.
2.5. Menurut golongan Syafi`iyah rukun shalat tiga belas macam, yaitu:
1. Niat.
2. Takbirat al-Ihram.
3. Berdiri pada shalat fardhu bagi yang sanggup.
4. Membaca al-Fatihah bagi setiap orang yang shalat kecuali ada uzur
5. Ruku’.
6. Sujud dua kali setiap raka’at.
7. Duduk antara dua sujud.
8. Membaca tasyahud akhir.
9. Duduk pada tasyahud akhir.
10.Shalawat kepada Nabi SAW setelah tasyahud akhir.
11.Duduk diwaktu membaca shalawat.
12.Mengucapkan salam.
13.Tertib.
2.6. Menurut golongan Hanabilah rukun shalat ada empat belas macam, yaitu:
1. Takbirat al-ihram.
2. Berdiri pada shalat fardhu bagi yang sanggup.
3. Membaca al-Fatihah pada setiap raka’at dalam shalat berjama`ah dan shalat
4. Ruku’.
5. I’tidal (bangkit) dari ruku’.
6. Sujud.
7. I’tidal (bangkit) dari sujud.
8. Duduk antara dua sujud.
9. Tuma’ninah pada ruku’ dan sesudahnya serta sujud dan sesudahnya.
10.Membaca tasyahud akhir.
1. Niat.
2. Takbirat al-ihram.
3. Berdiri waktu takbiratul al-ihram pada shalat fardhu.
4. Membaca al-Fatihah dalam shalat berjama`ah dan shalat sendirian.
5. Berdiri waktu membaca al-Fatihah.
6. Ruku’.
7. Bangkit dari ruku’.
8. Sujud.
9. Duduk antara dua sujud.
10.Mengucapkan salam.
11.Duduk di waktu mengucapkan salam.
12.Tuma’ninah pada seluruh rukun.
13.I’tidal sesudah ruku’ dan sujud.
2.5. Menurut golongan Syafi`iyah rukun shalat tiga belas macam, yaitu:
1. Niat.
2. Takbirat al-Ihram.
3. Berdiri pada shalat fardhu bagi yang sanggup.
4. Membaca al-Fatihah bagi setiap orang yang shalat kecuali ada uzur
5. Ruku’.
6. Sujud dua kali setiap raka’at.
7. Duduk antara dua sujud.
8. Membaca tasyahud akhir.
9. Duduk pada tasyahud akhir.
10.Shalawat kepada Nabi SAW setelah tasyahud akhir.
11.Duduk diwaktu membaca shalawat.
12.Mengucapkan salam.
13.Tertib.
2.6. Menurut golongan Hanabilah rukun shalat ada empat belas macam, yaitu:
1. Takbirat al-ihram.
2. Berdiri pada shalat fardhu bagi yang sanggup.
3. Membaca al-Fatihah pada setiap raka’at dalam shalat berjama`ah dan shalat
4. Ruku’.
5. I’tidal (bangkit) dari ruku’.
6. Sujud.
7. I’tidal (bangkit) dari sujud.
8. Duduk antara dua sujud.
9. Tuma’ninah pada ruku’ dan sesudahnya serta sujud dan sesudahnya.
10.Membaca tasyahud akhir.
2.7. Syarat-syarat
shalat
1. MALIKIYAH Membagi syarat-syarat shalat
menjadi 3 bagian.
a. Syarat-syarat wajibnya saja
•
Baligh
• Tidak dipaksa untuk meninggalkan
shalat
b. Syarat syahnya saja:
• Suci dari hadats
•
Suci dari kotoran (khubts)
• Beragama islam
• Menghadap kiblat
• Menutup aurat
c. Syarat wajib dan sahnya
• Sampainya da’wah nabi muhammad SAW.
•
Berakal
• Masuk waktu shalat
• Tidak khilangan 2 hal yg
mensucikan
• Sadar
• Suci dari darah haid dan nifas
2.
SYAFI’IYAH Membagi syarat shalat menjadi 2 bagian, yaitu :
syarat wajib
dan syarat sah.
3.
Syarat wajib
• Sampainya
da’wah nabi muhammad SAW.
• Islam
• Berakal
• Baligh
• Suci dari haid dan nifas
•
Memiliki indra yang sehat, walaupun penglihatan dan pendengaran saja.
4.
Syarat syah
• Sucinya badan
dari dua hadats (besar dan kecil)
• Suci badan,
pakaian dan tempat dari kotoran/na’jis.
• Menutup aurat
• Menghadap
kiblat
• Telah masuk
waktu shalat
• Mengetahui
ilmu shalat
• Tidak
melakukan sesuatu yang dapat membatalkan shalat.
3. HANAFIYAH Membagi syarat
shalat menjadi 2 bagian
a. Syarat wajib
• Sampainya dakwah rasulallah SAW.
• Islam
• Berakal
• Baligh
• Suci dari darah haid dan nifas
5.
Syarat syah
• Suci dari
hadats
• Suci pakaian
• Suci tempat
• Menutup aurat
• Niat
• Menghadap
kiblat
4.
HANBALIYAH Membagi syarat shalat dalam bentuk jumlah, yang jumlahnya ada9
• Islam
a.
• Berakal
b.
• Mumayyiz
c.
• Suci dari hadast serta mengetahui cara mensucikannya
d.
• Menutup aurat
e.
• Suci badan, pakaian dan tempat dari nakjis
f.
• Niat
g.
• Menghadap kiblat
h.
• Masuk waktu shalat
i.
2.8. Pengertian Shalat Sunah
5.
Shalat sunnah ( shalat
nafilah ) adalah shalat tambahan diluar shalat fardhu, bila dikerjakan akan
mendapat pahala tetapi bil;a ditinggalkan tidak berdosa.
2.9. Macam-macam
Shalat Sunnah
a)
Shalat Dhuha, menurut
pengertian bahasa, kata dhuha berarti matahari sedang naik. Jadi shalat dhuha dapat
diartikan sebagai shalat sunnah yang dikerjakan pada saat matahari sedang naik.
Waktu mengerjakannya ialah semenjak matahari naik kira-kira sepenggalah sampai
dengan masuknya waktu DZuhur ( tergelincir matahari ). Shalat dzuha merupakan
shalat sunnah yang danjurkan oleh rasulullah saw.
b)
Shalat Gerhana Matahari dan
Bulan, shalat
gerhana matahari disebut shalat Kusuf sedangkan
shalat gerhana bulan disebut shalat sunnahKhusuf. Hukum
mengerjakan shalat gerhana adalah sunnah muakkad (
sunnah yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan ). Shalat gerhana sebaiknya
dikerjakan secara berjamaah di mesjid atau musalla.Namun shalat gerhana juga
boleh dikerjakan secara sendiri-sendiri.
c)
Shalat Istikharah, perkataan istikharah berasal dari bahasa arab yang
artinya mohon dipilihkan. Menurut istilah syarak, shalat
istikharah adalah shalat sunnah dua rakaat yang dikerjakan dengan maksud mohon
petunjuk ( hidayah ) Allah dalam menentukan pilihan terbaik diantara dua atau
lebih pilihan.
d)
halatHajat, menurutpengertian
bahaSsa, hajat artinya kebutuhan.Menurut istilah syarak shalat hajat adalah
shalat sunnah dua rakaat yang dikerjakan dengan maksud mohon kepada Allah agar
suatu kebutuhan hidup atau beberapa kebutuhan hidup terpenuhi. Shalat hajat
dapat dilaksanakan kapan saja.Siang hari maupun malam hari tetapi waktu yang
paling baik adalah malam hari yaitu setelah bangun tidur lewat tengan malam.
e)
Shalat
Istisqa, menurut pengertian bahasa shalat istisqa berarti shalat minta hujan. Sedangkan
menurut istilah syarak shalat istisqa adalah
shalat sunnah dua rakaat yang dikerjakan dengan maksud memohon pertolongan
kepada Allah agar segera diturunkan hujan.
f)
Shalat nawafil (jamak:
nafilah) adalah salat yang
dianjurkan untuk dilaksanakan namun tidak diwajibkan sehingga tidak berdosa
bila ditinggalkan dengan kata lain apabila dilakukan dengan baik dan benar sertapenuhkeikhlasanakantampak hikmah dan rahmat dari Allah SWT yang
begitu indah.
g)
Solat Awwabin ialah solat sunat muakkad (sangat dituntut) yang dilakukan selepas solat fardhu Maghrib dan solat sunat Ba’adiah Maghrib.
Solat sunat Awwabin ini dikerjakan sebanyak 2, 4 atau 6 rakaat bahkan boleh
juga dilakukan sehingga 20 rakaat sepuluh salam.
Solat sunat tambahan ini sebagai amal ibadat sementara
menanti waktu Isyak, ianya lebih baik dari duduk berbual kosong atau tidur,
terutama jika tiada majlis ilmu.Boleh juga dilakukan di rumah jika berhalangan
untuk solat jamaah di masjid.
Lakukanlah ia selalu agar Allah SWT. merahmati kita dengan
memelihara keteguhan dan nikmat keimanan yang berterusan serta menghapuskan
dosa-dosa kita.
Solat ini disebut Solat Tasbih
kerana diucapkan tasbih sebanyak 300 kali dalam empat rakaat
solatnya.Solat Sunat Tasbih dianjurkan kalau boleh tiap-tiap malam, andaikata
tidak sanggup, kerjakanlah sekurang-kurangnya sekali dalam seumur hidup..
Solat sunat Tasbih dilakukan
sebanyak empat rakaat dan satu salam sekiranya solat itu didirikan pada siang
hari. Manakala jika didirikan pada malam hari, 4 rakaat itu dikerjakan dengan 2
salam ( 2 rakaat, 1 salam).
Harus diingat, walaupun 4
rakaat, solat ini mengambil masa yang agak lama (lebih kurang 4 minit) kerana
ia diselangi bacaan tasbih. Setiap rakaat jumlah tasbihnya 75 kali,
maka jumlah keseluruhan tasbih yang dibaca adalah 75 tasbih X
4 rakaat = 300 kali.
Solat Tasbih
ini dapat membuka pintu ampunan Allah SWT.di atas segala dosa, dari awal hingga
akhir, lama maupun baru, disengaja atau tidak, kecil ataupun besar, nampak
maupun teCara Mendirikan Solat Sunat Tasbih.
Salat Tarawih (kadang-kadang disebut teraweh atau
taraweh) adalah salat sunnat yang dilakukan khusus hanya pada
bulan ramadan. Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari تَرْوِيْحَةٌ
yang diartikan sebagai "waktu sesaat untuk istirahat". Waktu
pelaksanaan salat sunnat ini adalah selepas isya', biasanya dilakukan secara berjama'ah di masjid. Fakta menarik tentang salat ini ialah
bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa Sallam hanya pernah melakukannya secara berjama'ah dalam 3
kali kesempatan. Disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam
kemudian tidak melanjutkan pada malam-malam berikutnya karena takut hal itu
akan menjadi diwajibkan kepadaummat muslim (lihat sub seksi hadits tentang tarawih).
Shalat Rawatib adalah shalat sunnat yang
dilakukan sebelum atau sesudah shalat lima waktu. Shalat yang dilakukan sebelumnya disebut shalat qabliyah,
sedangkan yang dilakukan sesudahnya disebut shalat ba'diyah.
Sholat sunnat
rawatib ini terbagi kepada dua bagian, yaitu sunnat muakkad dan sunnat ghairu
muakkad.Shalat sunnat rawatib muakkad amat besar kemuliaannya dan dijanjikan
ganjaran yang besar apabila menunaikannya.
Sholat sunnah muthlaq yaitu sholat sunnah yang dapat
dilakukan seorang muslim pada malam dan siang hari dengan tanpa sebab misalnya
seorang yang menunggu iqamat sholat setelah ia sholat rawatib sebelumnya,
kemudian ia lanjutkan beberapa rakaat lagi hingga iqamat dikumandangkan, nah
beberapa rakaat tambahan inilah yang dinamakan sholat sunnah mutlaq.
l). Shalat Sunnah Tahajud
Adalah shalat sunat pada waktu malam hari,lebih baik jika di kerjakan sudah larut malam ,dan sesudah
tidur Bilangan rakaat nya tidak di batasi dan boleh sekuat nya.
m). Shalat Hari Raya
Shalat Hari Raya di dalam islam yaitu ada dua yaitu:
Hari Raya idul Fitri yang di laksanakan
pada setiap tanggal 1 bulan syawal dan Hari Raya Haji yang di laksanakan pada
setiap tanggal 10 bulan Julhijah hukum shalat hari raya dalah sunah muakad atau
sunah (sunah yang lebih penting) karena Rosulullah SAW tetap melakukan shalt
Hari raya seumur hidup.
1. Waktu Terlarang untuk Shalat sunnah
Beberapa salat sunah dilakukan
terkait dengan waktu tertentu namun bagi salat yang dapat dilakukan pada waktu
yang bebas (misal:salat mutlaq) maka harus memperhatikan bahwa terdapat
beberapa waktu yang padanya haram dilakukan salat:
2). Matahari
tepat dipuncaknya (zenith), hingga ia mulai condong
3). Sesudah
ashar sampai matahari terbenam
4). Sesudah
subuh
5). Ketika
matahari terbenam hingga sempurna terbenamnya
h)
11
11
i)
BAB III
j)
KESIMPULAN
k)
l)
Salat menurut bahasa Arab ialah “doa”, tetapi
yang dimaksdu disini adalah “ibadat yang tersusun dari beberapa perkataan dan
perbuatan yang dimulai dengan takbir, disudahi dengan salam, dan memenuhi
beberapa syarat yang ditentukan”.
Salat Fardu Salat yang iwajibkan bagi tiap-tiap
orang yang dewasa dan berakal ialah lima kali sehari semalam. Mula-mula
turunnya perintah wajib salat itu ialah pada malam isra’, setahun sebelum tahun
hijriah. Adapun salat wajib yang harus dilaksanakan umat muslim adalah : Salat
subuh, salat, Dzuhur, Shalat Ashar, shalat maghrib, dan shalat isya.
6.
Di samping ada solat fardu ada juga
salat sunah, yang sering dilakukan oleh Rosulallah Saw . Shalat
sunnah ( shalat nafilah ) adalah shalat tambahan diluar shalat fardhu, bila
dikerjakan akan mendapat pahala tetapi bil;a ditinggalkan tidak berdosa.
m)
n)
o)
p)
DAFTAR PUSTAKA
-
Rasjid, Sulaeman “ Fiqih Islam” ( sinar baru algesindo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar