MAKALAH HAJI DAN UMRAH

  • 0

HAJI DAN UMRAH
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah
Fiqh Ushul Fiqh
Dosen : Faizal Pikri, SS. M.Ag.

Disusun Oleh Kelompok 5
EVA FATMA YAYUNINGSIH      1138010089
FIRDA LESTARI                              1138010106
GAGAN HIDAYAT                                     1138010111
GITTA OKTAVIANI                                    1138010113
HANA FITRIYYAH LESTARI       1138010116
AN II C

JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah mukallaf dan harus dikerjakan baik bagi mukimin maupun dalam perjalanan.
Shalat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa mendirikan shalat ,maka ia mendirikan agama (Islam), dan barang siapa meninggalkan shalat,maka ia meruntuhkan agama(Islam).
Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali, berjumlah 17 rakaat. Shalat tersebut merupakan wajib yang harus dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun sakit. Selain shalat wajib ada juga shalat – shalat sunah.









1.2.        Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka bahasan tentang shalat dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.   Apa pengertian dari shalat itu?
2.   Apa saja macam-macam shalat Fardhu?
3.   Apa saja yang termasuk Rukun shalat?
4.       Apa saja hal-hal yang merusak atau membatalkan shalat?
5.   Pengertian shalat sunnah?
6.   Macam-macam shalat sunnah?

1.3.         Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas maka tujuan dari penulisan makalah ini pertama untuk memenuhi tugas mata Pelajaran Ushul Fiqih,  kemudian supaya kita bisa mempelajari dan memahami apa saja yang terkandung dalam shalat itu dengan harapan kita bisa mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.








BAB II
PEMBAHASAN
2.     1.  Pengertian Sholat
                      Asal makna salat menurut bahasa Arab ialah “doa”, tetapi yang dimaksdu disini adalah “ibadat yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir, disudahi dengan salam, dan memenuhi beberapa syarat yang ditentukan”.
Firman Allah Swt :
“dan dirikanlah salat, sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (Al- Ankabut : 45).
2.     2          Tata-cara sahalt Fardu
1.      Salat Fardu ( Salat Lima Waktu )
                         Salat yang iwajibkan bagi tiap-tiap orang yang dewasa dan berakal ialah lima kali sehari semalam. Mula-mula turunnya perintah wajib salat itu ialah pada malam isra’, setahun sebelum tahun hijriah. Berikut ini Perbuatan sunat sebelum salat lima waktu, yakni
a.         Azan
                         Asal makna azan ialah “ memebritahukan”. Yang di maksud disini ialah “ memberi tahukan bahwa waktu salat telah tiba dengan lafz yang ditentukan oleh syara’”. Dalqm lafaz azan itu terdaapat pengertian yang mengandung beberapa maksud penting, yaitu sebagai akidah, sperti adanya Allah yang maha besar bersifat esa, tidak ada sekutu baginya-Nya; serta menerangkan bahwa Nabi Muhammad S.a.w adalah utusan Allah yang cerdik dan bijaksana untuk menrima wahyu dari Allah sesudah kita bersaksi bahwa tiadda tuhan melainkan Allah dan Nabi Muhammad utusan-Nya, kita diajak mentaati perintah-Nya, yakni mengerjakan salat,kemudian diajak pula pada kemenangan dunia dan akhirat. Akhirnya disudahi dengan kalimat tauhid.
   Azan dimaksudkan untuk memberithukan bahwa waktu salat telah tiba dan mnyerukan untuk melakukan salat berjama’ah. Selain itu untuk mensyiarkan agama islam dimuka umum.
Firman Allah S.wt :
“ hai orang-org yang beriman apabila kamu kamu di seru untuk menunaikan solat padaa hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (shalat) dan tinggalkanah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimi juka kamu mengetahui.” (al- jumuah : 9)
                         Ulama berselisih pendapat tentang hukum Adzan. Sebagian ulama mengatakan bahwa hukum azan adalah sunnah muakkad, namun pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang mengatakan hukum azan adalah fardu kifayah. Akan tetapi perlu diingat, hukum ini hanya berlaku bagi laki-laki. Wanita tidak diwajibkan atau pun disunnahkan untuk melakukan adzan, ini. Ulama yang berpendapat tentang hukum ini diantaranya adalah Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq, Abu Tsauri, Abu Yusuf, dan Ibnu Hazm.
b.      Iqomah
                         Iqamah secara istilah maknanya adalah pemberitahuan atau seruan bahwa sholat akan segera didirikan dengan menyebut lafazh-lafazh khusus.Hukum iqamah sama dengan hukum adzan, yaitu fardu kifayah. Dan hukum ini juga tidak berlaku untuk wanita.Ulama’ yang berpendapat bahwa adzan hukumnya adalah fardu kifayah maka mereka juga berpendapat iqomah hukumnya adalah fardu kifayah. Begitu juga dengan ulama’ yang berpendapat bahwa adzan itu sunnah muakkad, maka iqomah juga sunnah muakkad karena keduanya mejadi syiar islam. Rosulallah Saw bersabda “ apabila dating waktu salat, hendaklah azan seoramg di antara kamu, dan hendaklah yang tertua di antara kamu menjadi imam.” (HR Bukhari dan Muslim).
               Azan dan iqomah hanya di syriatkan untuk salat fardu (salat lima waktu), aik salat berjama’ah maupun salat sendiri. Rosulallah Saw bersabda : “ apabila engkau sedang mengurus kambing atau ditengah padang, maka azanlah untuk (menyerukan) salat, dan keraskan suaramu dengan seruan itu. Karena sesungguhnya jin, manusia, dan apapun yang mendengar selama suara orang azan itu, pada hari kiamat nanati akan menjadi saksi baginya.” (HR. Bukhari).
               Selain iqomah untuk laki-laki adapun iqomah untuk perempuan, bagi jamaah perempuan , menurut kata yang mashyur menurut mazhab syafi’I, disunatkan iqomah saja; aza tidak disunatkan karena azan itu di ucapkan dengan suara nyaring (keras), Hal itu tidak layak bagi perempuan, sebab dikhawatirkan menjadi fitnah bagi pendengar.
3.         Syarat-syarat Azan dan Iqomah

1.      Orang yang menyerukan azan dan iqomah itu hendaklah orang yang sudah mumayiz (berakal).
2.      Hendaklah dilakukan sesudah masuk waktu salat.
3.      Orang yang azan dan iqomah itu hendaklah orang islam (muslim).
4.      Kalimat azan dan iqomah hendaklah berturut-turut .
5.      Tertib.
          Selain dari syarat-syarat tersebut, adapun ada beberapa hal yag disunatkan dalam azan dan iqomah, yakni :
1.              Menghadap qiblat
2.             Hendaklah berdiri karena dengan berdiri itu lebih pantas dalam arti pemberitahuan.
3.              Hendaklah dilakukan ditempat yang tiggi agar lebih terdengar
4.             Muazin hendaklah yang baik dank eras suaranya, agar lebih banyak menarik pendengar ke tempat salat.
5.              Suci dari hadats dan najis
6.              Membaca shalawat ats Nabi Saw. Sesudah selesai azan.
7.              Disunatkan membaca doa di antara azan dan iqomah.

4.        Membatasi Tempat Salat
     Diantara beberapaa hal yang dilakukan sebelum salat ialah membatasi tempat salat dengan dinding, dengan tongkat, dengan menghamparkaan sejadah (tikar untuk salat) atau dengan garis, supaya orang tidak lewat didepan orang yang sedanag salat, sebab orang yang kewat di depan orang salat itu hukumnya haram. Rosulallah Saw bersabda
“ kalau orang yang lewat di depan orang salat mengetahui dosa yang akan idapatinya, tentu lebih baik ia berhenti (menanti) empat puluh tahun daripada lewat depan orang salat.” (Sepakat ahli hadits).
5.    Waktu Salat Fardu
Firman Allah Swt :
إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditetapkan waktunya bagi kaum mukminin.” (An-Nisa`: 103)
أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikan pula shalat subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan oleh malaikat.” (Al-Isra`: 78)
                        Shalat dianggap sah dikerjakan apabila telah masuk waktunya. Dan shalat yang dikerjakan pada waktunya ini memiliki keutamaan sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم: أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: بِرُّ الْوَالِدَيْنِ. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
Aku pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya.” “Kemudian amalan apa?” tanya Ibnu Mas`ud. “Berbuat baik kepada kedua orangtua,” jawab beliau. “Kemudian amal apa?” tanya Ibnu Mas’ud lagi. “Jihad fi sabilillah,” jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 527 dan Muslim no. 248).
a.                   Shalat Fajar atau Shalat Subuh
                        Shalat subuh ini memiliki dua nama yaitu fajar dan subuh. Al-Qur`an menyebutkan dengan nama shalat fajar sedangkan As-Sunnah kadang menyebutnya dengan nama fajar dan di tempat lain disebutkan dengan nama subuh. (Al-Majmu’, 3/48)
                        Awal waktu shalat fajar adalah saat terbitnya fajar kedua atau fajar shadiq1 sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat ini di waktu ghalas, bahkan terkadang beliau selesai dari shalat fajar dalam keadaan alam sekitar masih gelap (waktu ghalas), sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:
كُنَّا نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَلاَةَ الْفَجْرِ مُتَعَلِّفَاتٍ بِمُرُوْطِهِنَّ، ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوْتِهِنَّ حِيْنَ يَقْضِيْنَ الصَّلاَةَ لاَ يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ
“Kami wanita-wanita mukminah ikut menghadiri shalat fajar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berselimut (menyelubungi tubuh) dengan kain-kain kami, kemudian mereka (para wanita tersebut) kembali ke rumah-rumah mereka ketika mereka selesai menunaikan shalat dalam keadaan tidak ada seorang pun mengenali mereka karena waktu ghalas (sisa gelapnya malam).” (HR. Al-Bukhari no. 578 dan Muslim no. 1455)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata, “Hadits ini menunjukkan disunnahkannya bersegera dalam mengerjakan shalat subuh di awal waktu.” (Fathul Bari, 2/74.
Demikian pula yang dikatakan Al-Imam Nawawi rahimahullahu. Dan ini merupakan mazhab Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dan jumhur, menyelisihi Abu Hanifah yang berpendapat bahwa isfar (waktu sudah terang) lebih utama/afdhal. (Al-Minhaj, 5/145)
                        Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Adapun shalat subuh maka dikerjakan waktu ghalas lebih afdhal. Demikian pendapat Malik, Asy-Syafi’i, dan Ishaq2 rahimahumullah. Juga diriwayatkan dari Abu Bakr, ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Musa, Ibnuz Zubair, dan ‘Umar bin Abdil ‘Aziz apa yang menunjukkan hal tersebut. Ibnu Abdil Bar rahimahullahu3 berkata, “Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman g, bahwa mereka semuanya mengerjakan shalat subuh di waktu ghalas. Dan suatu hal yang mustahil bila mereka meninggalkan yang afdhal dan melakukan yang tidak afdhal, sementara mereka adalah orang-orang yang puncak dalam mengerjakan perkara-perkara yang afdhal. Diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu, beliau berpandangan bahwa yang utama adalah melihat keadaan makmum. Bila mereka berkumpul di waktu isfar maka yang afdal mengerjakannya di waktu isfar karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perbuatan yang seperti ini dengan melihat berkumpulnya jamaah dalam penunaian shalat isya, sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu. Sehingga demikian pula yang berlaku pada shalat fajar. Ats-Tsauri dan ashabur ra`yi berkata, “Yang afdal shalat subuh dikerjakan waktu isfar dengan dalil hadits yang diriwayatkan oleh Rafi’ ibnu Khadij, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَسْفِرُوْا بِالْفَجْرِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلْأَجْرِ
Lakukanlah shalat fajar dalam keadaan isfar (sudah terang), karena hal itu lebih memperbesar pahala.” (Al-Mughni, Kitab Ash-Shalah, Fashl At-Taghlis li Shalatish Shubhi)4
                        Adapun hadits asfiru bil fajri di atas maknanya/tafsirnya adalah “Hendaklah kalian selesai dari mengerjakan shalat fajar pada waktu isfar (karena shalat yang demikian lebih besar pahalanya).” Bukan awal masuknya ke shalat fajar, tapi akhir dari mengerjakan shalat fajar. Caranya tentu dengan memanjangkan bacaan dalam shalat ini. Bukan perintah untuk mengerjakan shalat subuh di waktu isfar. Hal ini sebagaimana juga dijelaskan dari riwayat bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah selesai dari shalat fajar ini pada waktu isfar (hari sudah terang), tatkala seseorang sudah mengenali wajah teman duduknya. Sebagaimana kata Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari shalat subuh tatkala seseorang telah mengenali siapa yang duduk di sebelahnya5.” (HR. Al-Bukhari no. 541 dan Muslim no. 1460)
                        Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Hadits di atas memang harus, mau tidak mau, ditafsirkan/dimaknakan seperti ini, agar sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mencocoki perbuatan beliau yang terus beliau lakukan, berupa masuk ke dalam penunaian shalat subuh di waktu ghalas sebagaimana telah lewat. Makna ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam I’lamul Muwaqqi’in. Dan yang mendahului Ibnul Qayyim dalam pentarjihan ini adalah Al-Imam Ath-Thahawi dari kalangan Hanafiyyah, dan beliau panjang lebar dalam menetapkan hal ini (1/104-109). Beliau berkata, “Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad.” Walaupun apa yang dinukilkan oleh Ath-Thahawi dari tiga imam ini menyelisihi pendapat yang masyhur dari mazhab mereka dalam kitab-kitab mazhab yang menetapkan disunnahkannya memulai shalat subuh di waktu isfar.” (Ats-Tsamarul Mustathab, 1/81)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kenyataannya memang tidak pernah mengerjakan shalat fajar ini di waktu isfar kecuali hanya sekali. Dalam hadits Abu Mas’ud Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu disebutkan:
وَصَلَّى الصُّبْحَ مَرَّةً بِغَلَسٍ، ثُمَّ صَلَّى مَرَّةً أُخْرَى فَأَسْفَرَ بِهَا ثُمَّ كَانَتْ صَلاَتُهُ بَعْدَ ذَلِكَ الْغَلَسَ حَتَّى مَاتَ لَمْ يَعُدْ إِلَى أَنْ يُسْفِرَ
“Rasulullah sekali waktu shalat subuh pada waktu ghalas lalu pada kali lain beliau mengerjakannya di waktu isfar. Kemudian shalat subuh beliau setelah itu beliau kerjakan di waktu ghalas hingga beliau meninggal, beliau tidak pernah lagi mengulangi pelaksanaannya di waktu isfar.” (HR. Abu Dawud no. 394, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud).
a).        Awal Waktu SholatShubuh/Fajar
Para ulama sepakat bahwa awal waktu sholat fajar dimulai sejak terbitnya fajar kedua/fajar shodiq.
Akhir Waktu SholatShubuh/Fajar
Para ulama juga sepakat bahwa akhir waktu sholat fajar dimulai sejak terbitnya matahari.
Disunnahkan Menyegerakan Waktu SholatShubuh/Fajar Pada Saat Keadaan Gholas (Gelap yang Bercampur Putih)
Jumhur ulama’ berpendapat lebih utama melaksanakan sholat fajar pada saat gholas dari pada melaksanakannya ketika ishfar (cahaya putih telah semakin terang). Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq dan Abu Tsaur rohimahumullah. Diantara dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – غَزَا خَيْبَرَ ، فَصَلَّيْنَا عِنْدَهَا صَلاَةَ الْغَدَاةِ بِغَلَسٍ
“Sesungguhnya Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam berperang pada perang Khoibar, maka kami sholat ghodah (fajar) di Khoibar pada saat gholas”. (HR. Bukhori No. 371, Muslim No. 1365.)


b).        Salat Zuhur
                        Secara bahasa Zhuhur berarti waktu Zawal yaitu waktu tergelincirnya matahari (waktu matahari bergeser dari tengah-tengah langit) menuju arah tenggelamnya (barat).Sholat zhuhur adalah sholat yang dikerjakan ketika waktu zhuhur telah masuk. Sholat zhuhur disebut juga sholat Al Uulaa (الأُوْلَى) karena sholat yang pertama kali dikerjakan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam bersama Jibril ‘Alaihis salam. Disebut juga sholat Al Hijriyah (الحِجْرِيَةُ).
Awal Waktu Sholat Zhuhur
                        Awal waktu zhuhur adalah ketika matahari telah bergeser dari tengah langit menuju arah tenggelamnya (barat). Hal ini merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin, dalilnya adalah hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,
وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ……..
“Waktu Sholat Zhuhur adalah ketika telah tergelincir matahari (menuju arah tenggelamnya) hingga bayangan seseorang sebagaimana tingginya selama belum masuk waktu ‘Ashar……….”. (HR. Muslim No. 612)
Akhir Waktu Sholat Zhuhur
Para ulama bersilisih pendapat mengenai akhir waktu zhuhur namun pendapat yang lebih tepat dan ini adalah pendapat jumhur/mayoritas ulama adalah hingga panjang bayang-bayang seseorang semisal dengan tingginya (masuknya waktu ‘ashar). Dalil pendapat ini adalah hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu di atas. Waktu sholat zhuhur dapat diketahui dengan menghitung waktu yaitu dengan menghitung waktu antara terbitnya matahari hingga tenggelamnya maka waktu zhuhur dapat diketahui dengan membagi duanya.

c).  Sholat ‘Ashar

                        ‘Ashar secara bahasa diartikan sebagai waktu sore hingga matahari memerah yaitu akhir dari dalam sehari.Sholat ‘ashar adalah sholat ketika telah masuk waktu ‘ashar, sholat ‘ashar ini juga disebut sholat woshtho (الوُسْطَى).
-          Awal Waktu Sholat ‘Ashar
Jika panjang bayangan sesuatu telah semisal dengan tingginya (menurut pendapat jumhur ulama). Dalilnya adalah hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ…….
“Waktu Sholat Zhuhur adalah ketika telah tergelincir matahari (menuju arah tenggelamnya) hingga bayangan seseorang sebagaimana tingginya selama belum masuk waktu ‘ashar dan waktu ‘ashar masih tetap ada selama matahari belum menguning………”. (HR. Muslim No. 618).
-          Akhir Waktu Sholat ‘Ashar
Hadits-hadits tentang masalah akhir waktu ‘ashar seolah-olah terlihat saling bertentangan.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah rodhiyallahu ‘anhu ketika Jibril ‘alihissalam menjadi imam bagi Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
جَاءَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ زَالَتْ الشَّمْسُ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلِّ الظُّهْرَ حِينَ مَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ مَكَثَ حَتَّى إِذَا كَانَ فَيْءُ الرَّجُلِ مِثْلَهُ جَاءَهُ لِلْعَصْرِ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلِّ الْعَصْرَ ثُمَّ مَكَثَ حَتَّى إِذَا غَابَتْ الشَّمْسُ……مَا بَيْنَ هَذَيْنِ وَقْتٌ كُلُّهُ
“Jibril mendatangi Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam ketika matahari telah tergelincir ke arah tenggelamnya kemudian dia mengatakan, “Berdirilah wahai Muhammad kemudian shola zhuhur lah. Kemudian ia diam hingga saat panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya. Jibril datang kemudian mengatakan, “Wahai Muhammad berdirilah sholat ‘ashar lah”. Kemudian ia diam hingga matahari tenggelam. diantara dua waktu ini adalah dua waktu sholat seluruhnya” (HR. Bukhori No. 906 dan Muslim No. 615.)
Dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,
وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ
“Dan waktu ‘ashar masih tetap ada selama matahari belum menguning………” (HR. Muslim No. 612).
Hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari sahabat Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu,
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ
“Barangsiapa yang mendapati satu roka’at sholat ‘ashar sebelum matahari tenggelam maka ia telah mendapatkan sholat ‘ashar”. (HR. Bukhori No. 579 dan Muslim No. 608.)
Kompromi dalam memahami ketiga hadits yang seolah-olah saling bertentangan ini adalah :
Hadits tentang sholat Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dan Jibril ‘Alaihissalam dipahami sebagai penjelasan tentang akhir waktu terbaik dalam melaksanakan sholat ‘ashar. Adapun hadits ‘Abdullah bin ‘Amr dipahami sebagai penjelasan atas waktu pelaksanaan sholat ‘ashar yang masih boleh. Sedangkan waktu hadits Abu Huroiroh sebagai penjelasan tentang waktu pelaksanaan sholat ‘ashar jika terdesak artinya makruh mengerjakan sholat ‘ashar pada waktu ini kecuali bagi orang yang memiliki udzur maka mengerjakan sholat ‘ashar pada waktu itu hukumnya tidak makruh. Allahu a’lam.
Disunnahkan Hukmnya Menyegerakan Sholat ‘Ashar
Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari Sahabat Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ حَيَّةٌ
“Rosulullah shollallahu ‘alaihi was sallam sering melaksanakan sholat ‘ashar ketika matahari masih tinggi”(HR. Bukhori No. 550 dan Muslim No. 621.)
Sunnah ini lebih dikuatkan ketika mendung, hal ini berdasarkah hadits yang diriwayatkan dari Sahabat Abul Mulaih rodhiyallahu ‘anhu. Dia mengatakan,
كُنَّا مَعَ بُرَيْدَةَ فِى غَزْوَةٍ فِى يَوْمٍ ذِى غَيْمٍ فَقَالَ بَكِّرُوا بِصَلاَةِ الْعَصْرِ فَإِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ
Kami bersama Buraidah pada saat perang di hari yang mendung. Kemudian ia mengatakan, “Segerakanlah sholat ‘ashar karena Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Barangsiapa yang meninggalkan sholat ‘ashar maka amalnya telah batal”. (HR. Bukhori No. 553.). Hadits ini juga menunjukkan betapa bahayanya meninggalkan sholat ‘ashar.

d).  Sholat Maghrib

                        Secara bahasa maghrib berarti waktu dan arah tempat tenggelamnya matahari. Sholat maghrib adalah sholat yang dilaksanakan pada waktu tenggelamnya matahari.
Awal Waktu Sholat Maghrib
Kaum Muslimin sepakat awal waktu sholat maghrib adalah ketika matahari telah tenggelam hingga matahari benar-benar tenggelam sempurna.
Akhir Waktu Sholat Maghrib
                        Para ulama berselisih pendapat mengenai akhir waktu maghrib.Pendapat pertama mengatakan bahwa waktu maghrib hanya merupakan satu waktu saja yaitu sekadar waktu yang diperlukan orang yang akan sholat untuk bersuci, menutup aurot, melakukan adzan, iqomah dan melaksanakan sholat maghrib. Pendapat ini adalah pendapat Malikiyah, Al Auza’i dan Imam Syafi’i. Dalil pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Jabir ketika Jibril mengajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam sholat,
ثُمَّ جَاءَهُ لِلْمَغْرِبِ حِينَ غَابَتْ الشَّمْسُ وَقْتًا وَاحِدًا لَمْ يَزُلْ عَنْهُ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّ فَصَلَّى الْمَغْرِب
“Kemudian Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam ketika matahari telah tenggelam (sama dengan waktu ketika Jibril mengajarkan sholat kepada Nabi pada hari sebelumnya) kemudian dia mengatakan, “Wahai Muhammad berdirilah laksanakanlah sholat maghrib………..” (HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I.).
                        Pendapat kedua mengatakan bahwa akhir waktu maghrib adalah ketika telah hilang sinar merah ketika matahari tenggelam. Pendapat ini adalah pendapatnya Sufyan Ats Tsauri, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Mahzab Hanafi serta sebahagian mazhab Syafi’i dan inilah pendapat yang dinilai tepat oleh An Nawawi rohimahumullah. Dalilnya adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,
….وَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ…..
“Waktu sholat maghrib adalah selama belum hilang sinar merah ketika matahari tenggelam”. (HR Muslim no. 612).

d).  Sholat ‘Isya’

                        ‘Isya’ adalah sebuah nama untuk saat awal langit mulai gelap (setelah maghrib) hingga sepertiga malam yang awal. Sholat ‘isya’ disebut demikian karena dikerjakan pada waktu tersebut.
Awal Waktu Sholat ‘Isya’
                        Para ulama sepakat bahwa awal waktu sholat ‘isya’ adalah jika telah hilang sinar merah di langit.
Akhir Waktu Sholat ‘Isya’
          Para ulama’ berselisih pendapat mengenai akhir waktu sholat ‘isya’.Pendapat pertama mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah sepertiga malam. Ini adalah pendapatnya Imam Syafi’i dalam al Qoul Jadid, Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dalam mazhab Maliki. Dalilnya adalah hadits ketika Jibril mengimami sholat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
….ثُمَّ جَاءَهُ لِلْعِشَاءِ حِينَ ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الْأَوَّلُ…..
“……Kemudian Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam untuk melaksanakan sholat ‘isya’ ketika sepertiga malam yang pertama………..”. (HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I.)
            Pendapat kedua mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah setengah malam. Inilah pendapatnya Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarok, Ishaq, Abu Tsaur, Mazhab Hanafi dan Ibnu Hazm rohimahumullah. Dalil pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,
وَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الأَوْسَطِ….
“Waktu sholat ‘isya’ adalah hingga setengah malam”. (HR. Muslim No. 612.)
                                    Pendapat ketiga mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah ketika terbit fajar shodiq. Inilah pendapatnya ‘Atho’, ‘Ikrimah, Dawud Adz Dzohiri, salah satu riwayat dari Ibnu Abbas, Abu Huroiroh dan Ibnul Mundzir Rohimahumullah. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Qotadah rodhiyallahu ‘anhu,
إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلاَةَ حَتَّى يَجِىءَ وَقْتُ الصَّلاَةِ الأُخْرَى….
“Hanyalah orang-orang yang terlalu menganggap remeh agama adalah orang yang tidak mengerjakan sholat hingga tiba waktu sholat lain”. (HR. Muslim No. 681.)
                        Pendapat yang tepat menurut Syaukani dalam masalah ini adalah akhir waktu sholat ‘isya’ yang terbaik adalah hingga setengah malam berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr sedangkan batas waktu bolehnya mengerjakan sholat ‘isya’ adalah hingga terbit fajar berdasarkan hadits Abu Qotadah. Sedangkan pendapat yang dinilai lebih kuat menurut Penulis Shahih Fiqh Sunnah adalah setengah malam jika hadits Anas adalah hadits yang tidak shohih.
Disunnahkan Mengakhirkan Sholat ‘Isya’
Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ أَنْ يُؤَخِّرُوا الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفِهِ
“Jika sekiranya tidak memberatkan ummatku maka akan aku perintah agar mereka mengakhirkan sholat ‘isya’ hingga sepertiga atau setengah malam”. (HR. Tirmidzi No. 167, Ibnu Majah No. 691, dinyatakan shohih oleh Al Albani di Takhrij Sunan Tirmidzi.)
Akan tetapi hal ini tidak selalu dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam, sebagaimana dalam hadits yang lain,
وَالْعِشَاءُ أَحْيَانًا يُقَدِّمُهَا ، وَأَحْيَانًا يُؤَخِّرُهَا : إذَا رَآهُمْ اجْتَمَعُوا عَجَّلَ ، وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَئُوا أَخَّرَ
“Terkadang (Nabi) menyegerakan sholat isya dan terkadang juga mengakhirkannya. Jika mereka telah terlihat terkumpul maa segerakanlah dan jika terlihat (lambat datang ke masjid)”. (HR. Bukhori No. 560, Muslim No. 233.)
Dimakruhkan Tidur Sebelum Sholat ‘Isya’ dan Berbicara yang Tidak Perlu Setelahnya
Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
“Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam membenci tidur sebelum sholat ‘isya’ dan melakukan pembicaraan yang tidak berguna setelahnya. (HR. BukhoriNo. 568, Muslim No. 237.)
2.3.      Rukun Shalat Menurut Imam Yang Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali
Shalat mempunyai rukun-rukun yang harus dilakukan sesuai dengan aturan dan ketentuannya, sehingga apabila tertinggal salah satu darinya, maka hakikat shalat tersebut tidak mungkin tercapai dan shalat itu pun dianggap tidak sah menurut syara`.
Menurut Sayyid Sabiq, yang termasuk rukun shalat ada 9 macam, yaitu:

1. Niat.
Hal ini berdasarkan kepada firman Allah SWT:

وَمَااُوْمِرُوااِلّاَلِيُعْبُدُواالله مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ خُنَفَآءَوَيُقِيْمُواالصَّلَوةَوَيُؤْتُواالزَكَوةَوَذَلِكَ دِيْنُ القَيِّمَةِ

Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (al-Bayyinah: 98).
Sebenarnya tentang melafalkan atau mengucapkan niat, misalnya membaca “Ushalli fardla dzuhri arba’a raka’atin mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala” (Saya berniat melakukan shalat fardlu dzuhur empat rakaat dengan menghadap kiblat dan tepat pada waktunya semata-mata karena Allah SWT) pada menjelang takbiratul ihram dalam shalat dzuhur adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan di kalangan warga NU (nahdliyin). Tetapi sepertinya menjadi asing dan sesuatu yang disoal oleh sebagian kalangan yang tidak sepemahaman dengan warga nahdliyin
Adapun hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya Jika seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti melafalkan niat shalat ‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat ‘Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar.
            Menurut Imam Maliki
Menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah (Hanafiyah) bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri). Menurut penjelasan Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum shalat adalah sunnah. Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir adalah bid’ah, namun dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi orang yang terkena penyakit was-was.
Sebenarnya tentang melafalkan niat dalam suatu ibadah wajib pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan ibadah haji.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّّمَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً
“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”.” (HR. Muslim).
Memang ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu dalam menjalankan ibadah haji, bukan shalat, wudlu’ atau ibadah puasa, tetapi tidak berarti selain haji tidak bisa diqiyaskan atau dianalogikan sama sekali atau ditutup sama sekali untuk melafalkan niat.

2.    Takbiratul Ihram.
Hal ini berdasarkan hadist dari Ali RA berikut ini:

عن علي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: مفتاح الصلاة الطهور، وتحريمها التكبير، وتحليلها التسليم (رواه الدارم

Artinya: Dari Ali RA, Nabi Muhammad SAW bersabda, kunci shalat bersuci, pembukaannya membaca takbir dan penutupannya adalah membaca salam.
(H.R. Ad-Darimi).
Takbiratul ihram ini hanya dapat dilakukan dengan membaca lafadz Allahu Akbar.

.
3.    Berdiri Pada Saat Mengerjakan Shalat Fardhu
Hukum berdiri ketika mengerjakan shalat fardhu adalah wajib. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

عن عمران بن حسين قال: كانت بي بواسير، فسألت النبي صلى الله عليه وسلم عن الصلاة؟ فقال: صل قائما، فإن لم تستطع فقاعدا، فإن لم تستطع فعلى جنب (رواه البخاري

Artinya: Dari Imran bin Husain RA berkata, aku menderita penyakit ambien, lalu aku bertanya kepada Nabi SAW mengenai cara mengerjakan shalat yang harus aku lakukan, Nabi SAW bersabda, “Shalatlah dalam keadaan berdiri, jika engkau tidak mampu, maka laksanakan dalam keadaan duduk, jika engkau tidak mampu melakukannya, maka kerjakanlah dalam keadaan berbaring”. (H.R. Bukhari).

4.    Membaca al-Fatihah
Ada beberapa hadits shahih yang menyatakan kewajiban membaca surat al-Fatihah pada setiap rakaat, baik pada saat mengerjakan shalat fardhu maupun shalat sunnah. Diantaranya:

عن عبادة بن الصامت يبلغ به النبي صلى الله عليه وسلم لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب (رواه مسلم

Artinya: Dari Ubadah bin Shamit RA, Nabi SAW bersabda, “Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca surah Fatihatul-Kitab”. (H.R. Muslim).
Dalam Mazhab Syafi`i, basmallah merupakan satu ayat dari pada surah al-Fatihah, maka membaca bismillah hukumnya adalah wajib.


5.    Ruku’.
Kefardhuanya telah diakui secara ijma`, berdasarkan firman Allah SWT:

يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ أمَنُوااَرْكَعُواوَاسْجُدُواوَاعْبُدُوارَبَّكُمْ وافْعَلُواالخَيْرَلَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah tuhanmu dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. (al-Hajj: 77).
Ruku’ dikatakan sempurna, jika dilakukan dengan cara membungkukkan tubuh, dimana kedua tangan dapat mencapai dan memegang kedua lutut.


6.    Bangkit dari ruku’ dan berdiri lurus (i’tidal) disertai thuma’ninah.


7.    Sujud.
Anggota-anggota sujud adalah kening, hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut dan kedua telapak kaki
.
8.    Duduk yang terakhir sambil membaca tasyahhud.
9. Memberi salam.
               Mayoritas ulama berpendapat bahwa memberi salam yang pertama adalah wajib, sedangkan salam yang kedua hukumnya adalah sunnah. Ibnu Munzir mengatakan para ulama berijma’ bahwa seseorang dibolehkan mengucapkan satu kali salam saja ketika dalam shalatnya. Para ulama mazhab yang empat berbeda pendapat dalam menetapkan rukun shalat. Bahkan golongan Hanafiah membedakan lagi antara rukun dan wajib shalat, rukun shalat menurut mereka hanya enam, yaitu:
1. Takbirat al-ihram.
2. Berdiri.
3. Membaca al-Qur`an.
4. Ruku’.
5. Sujud.
6. Duduk terakhir sekedar membaca tasyahud.
2.4.   Menurut golongan Malikiyah rukun shalat tiga belas macam, yaitu:
            1. Niat.
            2. Takbirat al-ihram.
            3. Berdiri waktu takbiratul al-ihram pada shalat fardhu.
            4. Membaca al-Fatihah dalam shalat berjama`ah dan shalat sendirian.
            5. Berdiri waktu membaca al-Fatihah.
            6. Ruku’.
             7. Bangkit dari ruku’.
            8. Sujud.
            9. Duduk antara dua sujud.
            10.Mengucapkan salam.
            11.Duduk di waktu mengucapkan salam.
            12.Tuma’ninah pada seluruh rukun.
            13.I’tidal sesudah ruku’ dan sujud.

2.5.      Menurut golongan Syafi`iyah rukun shalat tiga belas macam, yaitu:
            1. Niat.
            2. Takbirat al-Ihram.
            3. Berdiri pada shalat fardhu bagi yang sanggup.
            4. Membaca al-Fatihah bagi setiap orang yang shalat kecuali ada uzur
            5. Ruku’.
            6. Sujud dua kali setiap raka’at.
            7. Duduk antara dua sujud.
            8. Membaca tasyahud akhir.
            9. Duduk pada tasyahud akhir.
            10.Shalawat kepada Nabi SAW setelah tasyahud akhir.
            11.Duduk diwaktu membaca shalawat.
            12.Mengucapkan salam.
            13.Tertib.

2.6.      Menurut golongan Hanabilah rukun shalat ada empat belas macam, yaitu:
            1. Takbirat al-ihram.
            2. Berdiri pada shalat fardhu bagi yang sanggup.
            3. Membaca al-Fatihah pada setiap raka’at dalam shalat berjama`ah dan shalat
            4. Ruku’.
            5. I’tidal (bangkit) dari ruku’.
            6. Sujud.
            7. I’tidal (bangkit) dari sujud.
            8. Duduk antara dua sujud.
            9. Tuma’ninah pada ruku’ dan sesudahnya serta sujud dan sesudahnya.
            10.Membaca tasyahud akhir.


2.7.      Syarat-syarat shalat
     1.    MALIKIYAH Membagi syarat-syarat shalat menjadi 3 bagian.
a. Syarat-syarat wajibnya saja
          • Baligh
 • Tidak dipaksa untuk meninggalkan shalat
b. Syarat syahnya saja:
 • Suci dari hadats
          • Suci dari kotoran (khubts)
 • Beragama islam
• Menghadap kiblat
 • Menutup aurat
c. Syarat wajib dan sahnya
• Sampainya da’wah nabi muhammad SAW.
          • Berakal
• Masuk waktu shalat
 • Tidak khilangan 2 hal yg mensucikan
• Sadar
• Suci dari darah haid dan nifas
2.              SYAFI’IYAH Membagi syarat shalat menjadi 2 bagian, yaitu :
syarat wajib dan syarat sah.
3.      Syarat wajib
• Sampainya da’wah nabi muhammad SAW.
• Islam
• Berakal
• Baligh
 • Suci dari haid dan nifas
          • Memiliki indra yang sehat, walaupun penglihatan dan pendengaran saja.
4.      Syarat syah
• Sucinya badan dari dua hadats (besar dan kecil)
• Suci badan, pakaian dan tempat dari kotoran/na’jis.
• Menutup aurat
• Menghadap kiblat
• Telah masuk waktu shalat
• Mengetahui ilmu shalat
• Tidak melakukan sesuatu yang dapat membatalkan shalat.
3.       HANAFIYAH Membagi syarat shalat menjadi 2 bagian
a. Syarat wajib
• Sampainya dakwah rasulallah SAW.
• Islam
• Berakal
• Baligh
• Suci dari darah haid dan nifas
5.      Syarat syah
• Suci dari hadats
 • Suci pakaian
• Suci tempat
• Menutup aurat
• Niat
• Menghadap kiblat
4.                  HANBALIYAH Membagi syarat shalat dalam bentuk jumlah, yang jumlahnya ada9
• Islam
a.              • Berakal
b.              • Mumayyiz
c.              • Suci dari hadast serta mengetahui cara mensucikannya
d.              • Menutup aurat
e.              • Suci badan, pakaian dan tempat dari nakjis
f.               • Niat
g.              • Menghadap kiblat
h.               • Masuk waktu shalat



i.                    2.8.      Pengertian Shalat Sunah
5.                  Shalat sunnah ( shalat nafilah ) adalah shalat tambahan diluar shalat fardhu, bila dikerjakan akan mendapat pahala tetapi bil;a ditinggalkan tidak berdosa.
2.9.       Macam-macam Shalat Sunnah

a)    Shalat Dhuha, menurut pengertian bahasa, kata dhuha berarti matahari sedang naik. Jadi shalat dhuha dapat diartikan sebagai shalat sunnah yang dikerjakan pada saat matahari sedang naik. Waktu mengerjakannya ialah semenjak matahari naik kira-kira sepenggalah sampai dengan masuknya waktu DZuhur ( tergelincir matahari ). Shalat dzuha merupakan shalat sunnah yang danjurkan oleh rasulullah saw.

b)     Shalat Gerhana Matahari dan Bulan, shalat gerhana matahari disebut shalat Kusuf sedangkan shalat gerhana bulan disebut shalat sunnahKhusuf. Hukum mengerjakan shalat gerhana adalah sunnah muakkad ( sunnah yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan ). Shalat gerhana sebaiknya dikerjakan secara berjamaah di mesjid atau musalla.Namun shalat gerhana juga boleh dikerjakan secara sendiri-sendiri.
c)      Shalat Istikharah, perkataan istikharah berasal dari bahasa arab yang artinya mohon dipilihkan. Menurut istilah syarak, shalat istikharah adalah shalat sunnah dua rakaat yang dikerjakan dengan maksud mohon petunjuk ( hidayah ) Allah dalam menentukan pilihan terbaik diantara dua atau lebih pilihan.
d)     halatHajat, menurutpengertian bahaSsa, hajat artinya kebutuhan.Menurut istilah syarak shalat hajat adalah shalat sunnah dua rakaat yang dikerjakan dengan maksud mohon kepada Allah agar suatu kebutuhan hidup atau beberapa kebutuhan hidup terpenuhi. Shalat hajat dapat dilaksanakan kapan saja.Siang hari maupun malam hari tetapi waktu yang paling baik adalah malam hari yaitu setelah bangun tidur lewat tengan malam.
e)      Shalat Istisqa, menurut pengertian bahasa shalat istisqa berarti shalat minta hujan. Sedangkan menurut istilah syarak shalat istisqa adalah shalat sunnah dua rakaat yang dikerjakan dengan maksud memohon pertolongan kepada Allah agar segera diturunkan hujan.

f)       Shalat nawafil (jamak: nafilah) adalah salat yang dianjurkan untuk dilaksanakan namun tidak diwajibkan sehingga tidak berdosa bila ditinggalkan dengan kata lain apabila dilakukan dengan baik dan benar sertapenuhkeikhlasanakantampak hikmah dan rahmat dari Allah SWT yang begitu indah.

g)      Solat Awwabin ialah solat sunat muakkad (sangat dituntut) yang dilakukan selepas solat fardhu Maghrib dan solat sunat Ba’adiah Maghrib. Solat sunat Awwabin ini dikerjakan sebanyak 2, 4 atau 6 rakaat bahkan boleh juga dilakukan sehingga 20 rakaat sepuluh salam.
Solat sunat tambahan ini sebagai amal ibadat sementara menanti waktu Isyak, ianya lebih baik dari duduk berbual kosong atau tidur, terutama jika tiada majlis ilmu.Boleh juga dilakukan di rumah jika berhalangan untuk solat jamaah di masjid.
Lakukanlah ia selalu agar Allah SWT. merahmati kita dengan memelihara keteguhan dan nikmat keimanan yang berterusan serta menghapuskan dosa-dosa kita.
h).   Salat Tasbih
Solat ini disebut Solat Tasbih kerana diucapkan tasbih sebanyak 300 kali dalam empat rakaat solatnya.Solat Sunat Tasbih dianjurkan kalau boleh tiap-tiap malam, andaikata tidak sanggup, kerjakanlah sekurang-kurangnya sekali dalam seumur hidup..
Solat sunat Tasbih dilakukan sebanyak empat rakaat dan satu salam sekiranya solat itu didirikan pada siang hari. Manakala jika didirikan pada malam hari, 4 rakaat itu dikerjakan dengan 2 salam ( 2 rakaat, 1 salam).
Harus diingat, walaupun 4 rakaat, solat ini mengambil masa yang agak lama (lebih kurang 4 minit) kerana ia diselangi bacaan tasbih. Setiap rakaat jumlah tasbihnya  75 kali, maka  jumlah keseluruhan tasbih yang dibaca adalah 75 tasbih  X 4  rakaat = 300 kali.

Solat Tasbih ini dapat membuka pintu ampunan Allah SWT.di atas segala dosa, dari awal hingga akhir, lama maupun baru, disengaja atau tidak, kecil ataupun besar, nampak maupun teCara Mendirikan Solat Sunat Tasbih.

i).   Salat Tarawih
Salat Tarawih (kadang-kadang disebut teraweh atau taraweh) adalah salat sunnat yang dilakukan khusus hanya pada bulan ramadan. Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari تَرْوِيْحَةٌ yang diartikan sebagai "waktu sesaat untuk istirahat". Waktu pelaksanaan salat sunnat ini adalah selepas isya', biasanya dilakukan secara berjama'ah di masjid. Fakta menarik tentang salat ini ialah bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam hanya pernah melakukannya secara berjama'ah dalam 3 kali kesempatan. Disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam kemudian tidak melanjutkan pada malam-malam berikutnya karena takut hal itu akan menjadi diwajibkan kepadaummat muslim (lihat sub seksi hadits tentang tarawih).
j).   Salat Rawatib
Shalat Rawatib adalah shalat sunnat yang dilakukan sebelum atau sesudah shalat lima waktuShalat yang dilakukan sebelumnya disebut shalat qabliyah, sedangkan yang dilakukan sesudahnya disebut shalat ba'diyah.
Sholat sunnat rawatib ini terbagi kepada dua bagian, yaitu sunnat muakkad dan sunnat ghairu muakkad.Shalat sunnat rawatib muakkad amat besar kemuliaannya dan dijanjikan ganjaran yang besar apabila menunaikannya.
Sholat sunnah muthlaq yaitu sholat sunnah yang dapat dilakukan seorang muslim pada malam dan siang hari dengan tanpa sebab misalnya seorang yang menunggu iqamat sholat setelah ia sholat rawatib sebelumnya, kemudian ia lanjutkan beberapa rakaat lagi hingga iqamat dikumandangkan, nah beberapa rakaat tambahan inilah yang dinamakan sholat sunnah mutlaq.
l).   Shalat Sunnah Tahajud
Adalah shalat sunat pada waktu malam hari,lebih baik jika di kerjakan sudah larut malam ,dan sesudah tidur Bilangan rakaat nya tidak di batasi dan boleh sekuat nya.

m).  Shalat Hari Raya
                        Shalat Hari Raya di dalam islam yaitu ada dua yaitu:
       Hari Raya idul Fitri yang di laksanakan pada setiap tanggal 1 bulan syawal dan Hari Raya Haji yang di laksanakan pada setiap tanggal 10 bulan Julhijah hukum shalat hari raya dalah sunah muakad atau sunah (sunah yang lebih penting) karena Rosulullah SAW tetap melakukan shalt Hari raya seumur hidup.



1.      Waktu Terlarang untuk Shalat sunnah
            Beberapa salat sunah dilakukan terkait dengan waktu tertentu namun bagi salat yang dapat dilakukan pada waktu yang bebas (misal:salat mutlaq) maka harus memperhatikan bahwa terdapat beberapa waktu yang padanya haram dilakukan salat:
1). Matahari terbit hingga ia naik setinggi lembing
2). Matahari tepat dipuncaknya (zenith), hingga ia mulai condong
3). Sesudah ashar sampai matahari terbenam
4). Sesudah subuh
5). Ketika matahari terbenam hingga sempurna terbenamnya



h)    
11
i)                    BAB III
j)                   KESIMPULAN
k)      
l)         
Salat menurut bahasa Arab ialah “doa”, tetapi yang dimaksdu disini adalah “ibadat yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir, disudahi dengan salam, dan memenuhi beberapa syarat yang ditentukan”.
Salat Fardu Salat yang iwajibkan bagi tiap-tiap orang yang dewasa dan berakal ialah lima kali sehari semalam. Mula-mula turunnya perintah wajib salat itu ialah pada malam isra’, setahun sebelum tahun hijriah. Adapun salat wajib yang harus dilaksanakan umat muslim adalah : Salat subuh, salat, Dzuhur, Shalat Ashar, shalat maghrib, dan shalat isya.
6.                                            Di samping ada solat fardu ada juga salat sunah, yang sering dilakukan oleh Rosulallah Saw . Shalat sunnah ( shalat nafilah ) adalah shalat tambahan diluar shalat fardhu, bila dikerjakan akan mendapat pahala tetapi bil;a ditinggalkan tidak berdosa.



m)    
n)      
o)       




p)                 DAFTAR PUSTAKA

-          Rasjid, Sulaeman “ Fiqih Islam” ( sinar baru algesindo)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar