SUMBER HUKUM DAN
PENAFSIRAN HUKUM
MAKALAH
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum
Dosen : Ridwan Eko Prasetyo, S.H., M.H.
Disusun
Oleh Kelompok 1
FAHMI
FACHREZI 1138010090
FAJAR
TRIBOWO 1138010092
FIRDA
LESTARI 1138010106
HERNI RATNA SETIAWATY 1138010121
HIMAYANI ANJAYATI
1138010122
AN 2 C
JURUSAN ADMINISTRASI
NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL
DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum adalah suatu peraturan tertulis/tidak tertulis
dimana disitu terdapat aturan yang mengatur perilaku manusia serta bersifat
memaksa. Hukum sangat diperlukan dalam suatu komunitas dimana didalamnya dihuni
oleh sekelompok individu dan mengatur individu tersebut untuk bersifat
sewajarnya dan tidak mengekang hak orang lain. Adalah suatu hal yang tidak
dapat dipungkiri bahwa dalam mempelajari ilmu hukum, sumber hukum merupakan
suatu bagian yang terpenting artinya, baik dilihat dari segi teori maupun
dilihat dari segi praktisnya.
Istilah sumber hukum mengandung beberapa arti
tergantung dari sudut mana seseorang memandangnya. Selain dari pada itu istilah
sumber hukum itu dapat diartikan sebagai sumber hukum dalam arti materil dan
sumber hukum dalam arti formal, sebagai sumber pengenalan dan sumber asal.
Suatu Undang-undang lahir melalui suatu proses yang
panjang yang merupakan jalinan dari berbagai faktor seperti pengalaman,
sejarah, kemasyarakatan, pandangan-pandangan dan nilai-nilai ideal, kesusilaan
dan kesadaran hukum. Dan semua faktor tadi menentukan terciptanya
undang-undang.
Didalam setiap undang-undang yang tertulis,seperti
halnya undang-undang pidana memerlukansuatu penafsiran. Hal ini disebabkan oleh
undang-undang yang tertulis itu sifatny statis, sulit diubah serta kaku.
Walaupun undang-undang telah tersusun secara sistematis dan lengkap, namun
tetap juga kurang sempurna dan masih terdapat banyak kekurangannya sehingga
menyulitkan dalam penerapannya, oleh karena itu perlu dilakukannya penafsiran.
Tujuan pembuatan penafsiran undang-undang itu sendiri
selalu untuk menentukan arti yng sebenarnya dari putusan kehendak pembuat
undang-undang, yaitu seperti yang tertulis didalam rumusan dari ketentuan
pidana didalam undang-undang, hakim berkewajiban untuk menafsirkan ketentuan
hukum yang setepat-tepatnya yakni apa yang sebenarnya dimaksud mengenai
ketentuan tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Dalam makalah
ini kami menyusun beberapa rumusan masalah sebagai beirikut :
1.
Apa pengertian Sumber Hukum ?
2.
Apa
saja jenis-jenis sumber hukum dan penjelasannya ?
3.
Apa yang dimaksud dengan Penafsiran Hukum?
4.
Apa
saja metode dalam penafsiran hukum
?
5.
Bagaimana Cara Penerapan Metode Penafsiran Hukum ?
C.
Tujuan
Dalam
rumusan beberapa materi di makalah ini, tujuannya yaitu:
1.
Kita dapat mengetahui pengertian sumber hukum.
2.
Kita juga dapat lebih mengetahui apa saja
jenis-jenis sumber hukum juga penjelasannya.
3.
Agar dapat mengetahui juga memahami apa itu
penafsiran hukum.
4.
Dapat mengenal apa saja metode dalam melakukan
penafsiran terhadap hukum.
5.
Kita juga bisa mengetahui bagaimana cara penerapan metode penafsiran hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Sumber Hukum
Sumber
hukum ialah “asal mulanya hukum” segala sesuatu yang dapat menimbulkan
aturan-aturan hukum sehingga mempunyai kekuatan mengikat. Yang di maksud
“segala sesuatu” tersebut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap
timbulnya hukum, darimana hukum ditemukan atau dari mana berasalnya isi norma
hukum.
Sumber
hukum pada hakikatnya dapat dibedakan ada 2 (dua) macam, yakni sumber hukum
material dan sumber hukum formal (Algra), dan (Utracht). Dan menurut Achmad Sanoesi sumber hukum terdiri dari
dua kelompok yaitu sumber hukum normal dan sumber hukum abnormal. L.J. van
Apeldoorn menyatakan bahwa perkataan sumber hukum dipakai dalam arti sejarah,
kemasyarakatan, filsafat, dan arti formal. Dengan demikian, dapatlah
dirumuskan, sumber hukum adalah sesuatu yang menimbulkan aturan yang mengikat
dan memaksa, sehingga apabila aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang
tegas dan nyata bagi pelanggarnya.
B. Jenis
– jenis Sumber Hukum
a.
Sumber Hukum Material
Sumber hukum material adalah
faktor-faktor yang menentukan kaidah hukum, tempat darimana berasalnya isi
hukum, atau faktor-faktor yang menentukan isi hukum yang berlaku. Faktor-faktor
yang menentukan isi hukum dapat dikelompokan atas “faktor ideal (filosofis),
faktor sejarah (historis), dan faktor kemasyarakatan (sosiologis)”.
Faktor ideal (filosofis) adalah
pedoman-pedoman hidup yang tetap mengenai nilai-nilai etika dan keadilan yang
harus dipatuhi oleh para pembentuk undang-undang ataupun oleh lembaga-lembaga
pelaksana hukum dalam melaksanakan tugasnya. Faktor sejarah (historis) adalah
tempat hukum dari sejatah kehidupan, tumbuh kembangnya suatu bangsa dimasa
lalu, misalnya hukum dalam piagam-piagam, dokumen, manuskrip kuno, code
Napoleon, BW, WvK, dan WvS.
Faktor kemasyarakatan (sosiologis)
adalah hal-hal yang nyata hidup dalam masyarakat yang tunduk pada aturan-aturan
tata kehidupan masyarakat. Faktor-faktor kemasyarakatan yang mempengaruhi
pembentukan hukum adalah:
1. Kebiasaan atau adat istiadat yang telah
mentradisi terus berkembang dalam masyarakat yang ditaati sebagai aturan
tingkah laku tetap.
2. Keyakinan tentang agama/kepercayaan dan
kesusilaan.
3. Kesadaran hukum, perasaan hukum dan
keyakinan hukum dalam masyarakat.
4. Tata hukum negara-negar lain, misalnya
materi hukum perdata, hukum dagang, hukum perdata internasional diambil dari
negara-negara yang lebih maju.
5. Sumber hukum formal, yang sudah ada
sekarang ini dapat dijadikan bahan untuk menentukan isi hukum yang akan datang (ius constituendum).
Menurut Utrecht, sumber hukum
material adalah perasaan hukum (keyakinan hukum) individu dan pendapat umum (publik opinion) yang menjadi determinan
material pembentuk hukum yang menentukan isi kaidah hukum.
b.
Sumber Hukum Formal
Sumber
hukum formal adalah tempat dari mana dapat ditemukan atau diperoleh
aturan-aturan hukum yang berlaku yang mempunyai kekuatan mengikat masyarakat
dan pemerintah sehingga ditaati. Sumber hukum formal (van Apeldoorn) adalah
dari mana timbulnya hukum yang berlaku (yang mengikat hakim dan penduduk).
Berikut adalah macam – macam sumber hukum formal :
a)
Sumber Hukum Formal Tertulis
Bentuk
sumber-sumber formal yang tertulis ialah
undang-undang, , yurisprudensi, traktat (teaty),
dan doktrin hukum (pendapat atau ajaran ahli hukum).
1. Undang-Undang
Undang-undang dapat
dibedakan dalam undang-undang dalam arti materil dan undang-undang dalam arti
formal. Undang-undang dalam arti
materiel adalah keputusan penguasa yang dilihat dari segi isinya mempunyai kekuatan mengikat umum.
Undang-undang
dalam arti formal adalah keputusan peguasa yang diberi nama undang-undang
disebabkan bentuk yang menjadikannya undang-undang. Di Indonesia undang-undang
dalam arti formal ditetapkan oleh presiden dengan perseujuan Dewan Perwakilan
Rakyat ( pasal 5 ayat 1 ).
Biasanya undang-undang
dalam arti formal memuat ketentuan yang mengikat umum, dengan demikian
undang-undang ini pada umumnya merupakan juga undang-undang dalam arti
materiel.
Contoh undang-undang
dalam arti formal yang bukan undang-undang dalam arti materiel, misalnya :
undang-undang tentang APBN ( pasal 23 (1) UUD 1945 ), undang-undang
kewarganegaan (undang-undang No. 62 ttahun 1985 ) ( Naturalisasi ).
Selanjutnya
undang-undang dapat pula dibedakan dalam : undang-undang tingkat atasan dan
undang-undang tingkat bawahan. Jadi disini dikenal hierarki undang-undang yang
susunannya adalah sebagai berikut :
1)
undang-undang
dalam arti formal.
2)
Ketentuan
umum dibidang tata-pemerintahan atau sering kali disebut peraturan tingkat
pusat.
3)
Peraturan-perauran
daerah ( daerah tingakat I dan daerah tingkat II ).
4)
Peraturn
kota madya.
2.
Hukum Traktat ( Perjanjian Internasional )
Hukum traktat adalah
perjanjian yang dibuat antar Negara yang di tuangkan dalam bentuk tertentu.
Negara-negara juga bisa membuat perjanjian dengan Negara lain tanpa peru adanya
traktat, misalnya hanya dengan perlu pertukaran nota atau surat biasa. Meskipun
demikian dari segi jurudis surat-surat seperti itu sama degan traktat. Perjanjian
antar Negara sering juga dinamakan konvensi, agreement dan lain-lain, yang
penamaan iu diberikan berhubung dengan isinya.
Prof. DR. Mochtar Ksuma
Atmadja SH, LLM. Mengemukakan bahwa salah satu kesulitan yang sering dijumpai
dalam mempelajari masalah perjanjian ini adalah banyak istilah yang digunakan (
pengantar hukum internasional, hal 110. ) Cara terjadinya “Traktat” diatur oleh hukum internsional dan syarat
pembentukannya terdiri atas :
a.
Perundingan
;
b.
Penutupan
;
c.
Pengesahan
dan
d.
Pertukaran
piagam-piagam.
Selanjutnya tergantung
dari hukum tata Negara masing-masing Negara yang bersangkutan mengenai
badan-badan yang mana yang berwenang untuk menyelesaikan terjadinya suatu
traktat.
1)
Perundingan
Diperlukan untuk persiapan ada 2 macam
yakni :
Traktat
bilateral dipersiapkan dengan perundingan langsung
yang dapat terjadi secara lisan atau tertulis bahkan dengan cara telegrafis.
Traktat
kolektif dapat dipersiapkan dengan cara yang sma
dengan Traktat bilateral jadi Negara
yang bersangkutan mengirim utusannya masing-masing kemudian berunding.
2)
Penutupan
Apabila para utusan
Negara yang mengadakan perundingan telah mencapai persetujuan, maka traktat itu
ditutup, artinya eks trakat tersebu ditetapkan dalam satu piagam, dan disusun
perpasal-pasal.
3)
Pengesahan
4)
Pertukaran
piagam
Traktat
berlaku dan mengikat para pihak yang terlibat jika piagam pengesahan sudah
dipertukarkan diantara Negara-negara yang bersangkutan, untuk traktat kolektif
piagam itu digantikan dengan cara menyimpan piagam iu didalam sebuah arsip dari
salah satu Negara yang menanda tangani traktat itu berdasarkan persetujuan
bersama yang sebelumnya dinyatakan dalam trakat.
Di Indonesia perjanjian
internasional dibuat oleh presiden dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat
(DPR).
3.
Putusan Hakim ( Yurisprudensi )
Dalam sistem common law, yurisprudensi
diterjemahkan sebagai suatu ilmu pengetahuan hukum positif dan
hubungan-hubungannya dengan hukum lain. Sedangkan dalam sistem statute law, diterjemahkan sebagai
putusan-putusan hakim terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetapp dan diikuti
oleh para hakim tau badan peradilan lain dalam memutuskan perkara atau kasus
yang sama. (Simorangkir, 1987:78)
Menurut Prof. Subekti, yang
dimaksud dengan yurisprudensi adalah putusan-putusan hakim atau pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan
kesasi atau putusan MA sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap. Tidak semua
putusan hakim dapat dikategorikan sebagai yurisprudensi, kecuali putusan
tersebut sudah melalui proses eksaminasi dan notasi MA dengan rekomendasi
sebagai putusan yang telah memenuhi standar hukum yurisprudensi.
4.
Doktrin (Pendapat Para Ahli)
Doktrin Hukum adalah pendapat para
ahli atau sarjana hukum ternama atau terkemuka. Dalam yurisprudensi dapat
dilihat bahwa hakim sering berpegangan pada pendapat seorang atau beberapa
sarjana hukum terkenal namanya. Pendapar para sarjana hukum itu menjadi dasar
keputusan-eputusan yang akan diambil oleh seorang hakim dalam menyelesaian
suatu perkara.
Doktrin adalah teori-teori yang
diampaikan oleh para sarjana hukum yang ternama yang mempunyai kekuasaan dan
dijadikan acuan bagi hakim untuk mengambil keputusan. Dalam penetapan apa yang
akan menjadi keputusan hakim, ia sering menyebut (mengutip) pendapat seseorang
sarjana hukum mengenai kasus yang harus diselesaikannya, apalagi jika sarjana
hukum itumenentukan bagaimana seharusnya. Pendapat itu menjadi dasar keputusan
hakim tersebut..
Pendapat para sarjana hukum yang
merupakan doktrin adalah sumber hukum. Ilmu hukum itu sebagai sumber hukum,
tapi bukan hukum karena tidak langsung mempunyai kekuatan mengikat sebagaimana
undang-undang ilmu hukum baru mrngikat dan mempunyai kekuatan hukum bilaa
dijadika pertimbangan hukum dalam putusan pengadilan.
b)
Bentuk Hukum Formal yang Tidak Tertulis
1. Hukum
Adat
Sudah dimaklumi bahwa
memahami arti hukum hanya berdasarkan definisi saja adalah sesuatu hal yang
mustahil mengingat luasnya ruang lingkup hukum.
Isi dari hukum
berubah-ubah menurut waktu dan tempat, dengan kata lain orang hanya bisa
membedakan nya dari ciri-ciri luarnya saja dan mengenal tatacara pelaksanaan
ketentuan hukum itu.
Hukum adat merupakan
serangkaian tingkah laku yang berulang kali dilakukan oleh seluruh anggota
masyarakat, berdasarkan kesadaran dan keyakinan bahwa tingkah laku itu pantas.
Dan hukum adat itu adalah keseluruhan atau tingkah laku yang “adat” dan
sekaligus dihukumkan pula.
Istilah hukum adat
sebagai hukum tidak tertulis secara resmi dalam undang-undang dasar sementara (
pasal 32 jo. Pasal 43 ayat (4) ). Meskipun undang-undang dasar 1945 tidak
secara tegas menyebut-nyebut mengenai hukum adat, namun berdasarkan pasal II
aturan peralihannya semua ketentuan mengenai hukum-hukum adat sebelum
berlakunya undang-undang dasar 1945 tetap berlaku.
Dalam tata hukum
hindia-belanda dikenal sebuah istilah “adatrech”
yang lazimnya diterjemahkan hukum adat, hal mana ditinjau dari segi isinya
sungguh tidak tepat. Adtrech adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang
berlaku bagi orang Idonesia asli/ pribumi dan orang timur asing yang mempunyai
kekuatan memaksa dan tidak dikodifikasikan.
Diatas telah dikatakan
bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis demikian pula “adatrech”
sekilas terlihat sama namun sesungguhnya berbeda dan perbedaannya itu terletak
pada hukum adat yakni hukum adat itu tidak tertulis sedangkan adatrech
untuk sebagian meliputi pula hukum yang tertulis atau tercatat ( beschreven reht ).
Jadi didalam hukum adat
terlebih dahulu harus ada suatu perbuatan dan perbuatan tersebut haruslah
dilakukan secara berulang-ulang dan diikuti oleh masyarakat, dengan kesadaran
penuh bahwa memang perbuatan itu sesuai dengan pola sikap-hidup bersama,
barulah kebiasaan itu menjadi adat.
Namun demikian
adat-kebiasaan itu sendiri baru menjadi hukum adat jika dari pihak penguasa
atau pemerintah nya masing-masing seperti pembuat undang-undang, hakim, dan
sebagainya menghukumkan hukum itu menjadi hukum adat.
2.
Kebiasaan
Kebiasaan
(Custom). Kebiasaan merupakan tindakan menurut pola tingkah laku yang tetep,
ajeg, dan normal di dalam suatu mastyarakat atau komunitas hidup tertentu.
Sebagai sebuah perilaku yang tetap kebiasaan merupaan perilaku yang selalu
berulang hingga melahirkan satu keyakinan kesadaran bahwa hal itu patut
dilakukan dan memiliki kakuatan yang mengikat.
Tidak
semua kebiasaaan dapat menjadi sumber hukum, kebiasaan yang dapat menjadi
sumber hukum meniscayakan beberapa syarat :
a. Syarat materiil adanya perbuatan tingkah
laku yang dilakukan berulang-ulang.
b.
Syarat
intelektual adanya keyakinan hukum dari masyarakat yang bersangkutan.
c. Adanya akibat hukum apabila kebiasaan
dilanggar.
c.
Sumber Hukum Normal
a. Sumber hukum normal yang langsung atas pengakuan undang-undang,
yaitu
1) Undang-undang
2) Perjanjian antarnegara
3) Kebiasaan
b. Sumber hukum normal yang tidak langsung atas pengakuan
undang-undang, yaitu
1) Perjanjan
2) Doktrin
3) Yurispudensi
d.
Sumber Hukum Abnormal
a. Proklamasi
b. Revolusi (Coup D’etat)
Salah satu sumber hukum
yang tidak normal (abnormal) ialah revolusi atau Coup D’etat yaitu suatu tindakan dari warga negara yang mengambil
alih kekuasaan diluar cara-cara yang diatur dalam konstitusi suatu negara.
C. Penafsiran
Hukum
a. Pengertian Penafsiran Hukum
Penafsiran (interpretasi) menurut
Soedjono Dirdjosisworo,adalah menentukan arti atau makna suatu teks atau bunyi pasal
berdasar pada kaitannya. Adapun R. Soeroso menjelaskan bahwa penafsiran atau
interpretasi ialah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang
tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki serta yang
dimaksud oleh pembuatan undang-undang.
Tujuan pembuatan penafsiran
undang-undang itu sendiri selalu untuk mementukan arti yang sebenarnya dari
putusan kehendak pembuat undag-undang, yaitu seperti yang tertulis di dalam
rumusan dari ketentusn pidana di- dalam undang-undang. Hakim berkewajiban untuk
menafsirkan ketentuan pidana dengan setepat-tepatnya, yakni apa yang sebenarnya
dimaksud dengan rumusan mengenai ketentuan pidana tersebut.
D. Macam-macam Metode Penafsiran Hukum
1.
Penafsiran
menurut tata bahasa (grammaticale interpretatie), yaitu memberikan arti
kepada suatu istilah atau perkataan sesuai dengan taya bahas. Misalnya jika
perumusan berbunyi "pegawai negeri menerima suap", maka subjek atau
pelaku di sini adalah pegawai negeri, bukan barang siapa, atau nahkoda.
2.
Penafsiran
secara sistematis, yaitu apabila suatu istilah atau perkataan dicantumkan dua
kali dalam satu pasal, atau pada undang-undang, maka pengertiannya harus sama
pula. Misalnya pada pasal 302 KUHP dicantumkan dua kali istilah binatang, maka
kepada kedua istilah itu harus dibetikan pengertian yang sama.
3.
Penafsiran
mempertentangkan (argentum acontario), yaitu menemukan kebalikan dari
pengertian suatu istilah yang sedang dihadapi. Misalnya kebalikan dari
"tiada pidana tanpa kesalahan " adalah pidananya dijatuhlan kepada
seseorang yang padanya terdapat kesalan.
4.
Penafsiran
memperluas (extensieve interpretatie), yaitu memperluas pengertian dari
suatu istilah berbeda drngan pengertiannya yang digunakan sehari-hari. Contoh
aliran listrik ditafsirkan sebagai benda.
5.
Penafsiran
mempersempit (restrictieve interpretatie), yaitu mempersempit
penegertian dari suatu istilah. Contoh kerugian ditafsirkan tidak termasuk
kerugian yang "tidak berwujud", seperti sakit, cacat, dan sebagainya.
6.
Penafsiran
historis (rech/wets-historis), yaitu mempelajari sejarah yang berkaitan
atau mempelajari pembuatan Undang-Undang yang bersangkutan akan ditemukan
pengertian dari sesuatu istilah yang dihadapi. Contoh seseorang yang melanggar
hukum atau melakukan tindak pidana dihukum denda Rp 250,00 denda sebesar itu
ditetapkan saat ini jelas tidak sesuai maka harus ditafsirkan sesuai dengan
keadaan harga saat ini.
7.
Penafsiran
teleologis, yaitu mencari
tujuan atau maksud dari suatu peraturan Undang-Undang. Misalnya tujuan dari
pembentukan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub), UU No.16 Pnps Tahun 1963,
ialah untuk mempercepat proses penyelesaian suatu perkara khusus.
8.
Penafsiran
logis, yaitu mencari pengertian dari suatu istilah atau ketentuan berdasarkan
hal-hal yang masuk akal. Cara ini tidak banyak digunakan.
9.
Penafsiran
analogi, yaitu memeperluas cakupan atau penhertian dari ketentuan
undang-undang. Contoh, istilah menyambung listrik dianggap sama dengan
mengambil aliran listruk.
10. Penafsiran futuristis, yaitu penafsiran
dengan penjelasan undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum
mempunyai kekuatan hukum, yaitu rancangan undang-undang.
11. Penafsiran komparatif, yaitu penafsiran
dengan cara membandingkan dengan penjelasan berdasarkan perbandingan hukum, agar dapat
ditemukan kejelasan suatu ketentuan undang-undang.
12. Penafsiran Autentik(resmi)
Penafsiran
autentik adalah penafsiran resmi yang diberikan oleh pembuat undang-undang.Misalnya:Pada
pasal 98 KUHP ;”malam” berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari
terbit ,dan pasal 97 KUHP : Hari adalah waktu selama 24 jam dan yang di maksud
dengan bulan adalah waktu selama 30 hari.
13.
Penafsiran
Nasional
Penafsiran
nassional adalah penafsiran yang menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku .Mislnya :Hak milik Pasaal 570
KUHS sekarang harus ditafsirkan menurut hak milik sistem hukum Indonesia.
E. Cara Penerapan Metode Penafsiran Hukum
Pembuat undang-undang tidak menetapkan suatu
sistem tertentu yang harus di jadikan pedoman bagi hakim dalam menafsirkan
undang-undang.Oleh karena itu hakim bebas dalam melakukan penafsiran.
Dalam
melaksanakan penafsiran pertama-tama selalu dilakukan penafsira gramatikal,karna
pada hakikatnya untuk memahami teks peraturan perundang-undangan
harus mangerti terlebih dahulu arti kata-katanya. Apabila
perlu dilanjutkan dengan penafsiran otentik yang di tafsiskan oleh
pembuat undang-undang itu sendiri ,kemudian dilanjutka dengan penafsiran
historis dan sosiologis.
Sedapat mungkin semua metode
penafsiran semua dilakukan ,agar didapat makna-makna yang tepat. Apabila semua
metode tersebut tidak menghasilkan makna yang sama, maka wajib di ambil metode
penafsiran yang membawa keadilan setinggi-tingginya, karena memang keadilan
itulah yang di jadikan sasaran pembuat undang-undang pada waktu mewujudkan
undang-undang yang bersangkutan .
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari makalah ini dapat ditarik beberapa kesimpulan,
yaitu :
1. Sumber hukum ialah “asal mulanya hukum”
segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan-aturan hukum sehingga mempunyai
kekuatan mengikat. Yang di maksud “segala sesuatu” tersebut adalah
faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap timbulnya hukum, darimana hukum
ditemukan atau dari mana berasalnya isi norma hukum.
2.
Jenis
– jenis sumber hukum:
Didalam sumber hukum tedapat beberapa
jenis yaitu, Undang-undang, Traktat, Doktrin, Yurispudensi, Proklamasi, Revolusi, Kebiasaan dan Adat.
3.
Penafsiran hukum (interpretasi) menurut R. Soeroso
menjelaskan bahwa penafsiran atau interpretasi ialah mencari dan menetapkan
pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan
yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuatan undang-undang
4.
Macam-macam metode penafsiran hukum:
1.
Penafsiran
menurut tata bahasa (grammaticale interpretatie),
2.
Penafsiran
secara sistematis,
3.
Penafsiran
mempertentangkan (argentum acontario)
4.
Penafsiran
memperluas (extensieve interpretatie),
5.
Penafsiran
mempersempit (restrictieve interpretatie),
6.
Penafsiran
historis (rech/wets-historis),
7.
Penafsiran
teleologis,
8.
Penafsiran
logis
9.
Penafsiran
analogi,
10.
Penafsiran
futuristis,
11.
Penafsiran
komparatif,
12.
Penafsiran
Autentik(resmi)
13.
Penafsiran
Nasional
5.
Dalam
penerapan penafsiran hukum, sedapat mungkin semua metode penafsiran semua
dilakukan ,agar didapat makna-makna yang tepat. Apabila semua metode tersebut
tidak menghasilkan makna yang sama, maka wajib di ambil metode penafsiran yang
membawa keadilan setinggi-tingginya, karena memang keadilan itulah yang di
jadikan sasaran pembuat undang-undang pada waktu mewujudkan undang-undang
yang bersangkutan .
DAFTAR
PUSTAKA
Asikin, zainal. Pengantar
Ilmu Hukum. 2012. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Apeldoorn, Van. Pengantar
Ilmu Hukum, 1985. Jakarta : Pradnya Paramia
CST Kanzil,Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.
1990 ,Jakarta: Pradnya Paramita,
Hariri, wawan mukhwan. Pengantar Ilmu Hukum. 2012. Bandung: Pustaka Setia
Ishaq. Dasar-dasar
Ilmu Hukum. 2008. Jakarta: Sinar Grafika
R.Soeroso,Pengantar Ilmu Hukum,Jakarta :Rajawali Press,2001
Sanoesi, Achmad. Pengantar Ilmu Hukum
dan Tata Hukum Indonesia. 1977. Bandung : Tarsito
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, 1994. Jakarta : Raja
Grapindo Persada
Soemardi, dedi. Sumber-sumber
Hukum Positif. 1980. Bandung: Alumni
Sugiarto,
said umar. Pengantar Hukum Indonesia.
2013. Jakarta: Sinar Grafika
(Mar 14, 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar