MAKALAH PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI DAERAH DAN FENOMENA PEMILIHAN KEPALA DAERAH

  • 0

PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI DAERAH DAN FENOMENA PEMILIHAN KEPALA DAERAH
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Hukum Administrasi Pemda
Dosen : Nandang Albian, SH., MH.
Disusun Oleh Kelompok  5
AN 2 C
ENONG SAMSUL FARIHAH     1138010086
FEISAL                                     1138010102
FIRDA LESTARI                       1138010106
GITA GIANTINA                       1138010112
IBNU MALIK SEPTIADI                        1138010123


JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kuasa sehingga penyusunan makalah ini dapat berjalan dengan baik dan lancar. Kami juga berterimakasih kepada setiap pihak yang telah terlibat dan membantu kami dalam penyusunan makalah ini. 
Makalah untuk Mata Kuliah Hukum Administrasi PEMDA kali ini mengangkat topik mengenai Perkembangan Demokrasi di Daerah dan Fenomena Pemilihan Kepala Daerah. Makalah ini kami susun sedemikian rupa dengan mencari dan menggabungkan sejumlah informasi yang kami dapatkan melalaui beberapa referensi buku. Kami berharap dengan informasi yang kami dapat dan kemudian kami sajikan ini dapat memberikan penjelasan yang cukup tentang Perkembangan Demokrasi di Daerah dan Fenomena Pemilihan Kepala Daerah.
Demikian satu dua kata yang bisa kami sampaikan kepada seluruh pembaca makalah ini. Jika ada kesalahan baik dalam penulisan maupun kutipan, kami terlebih dahulu memohon maaf dan kami juga berharap semua pihak dapat memakluminya. Semoga semua pihak dapat menikmati dan mengambil esensi dari makalah ini. Terimakasih.
Bandung, 01 Maret 2014



DAFTAR ISI
KATA PENGANTARi
DAFTAR ISIii
BAB I PENDAHULUAN1
A. Latar Belakang1
B. Rumusan Masalah3
C. Tujuan3
BAB II PEMBAHASAN 4
A.   Bagaimana Pengembangan Demokrasi di Daerah ? 4
B.   Seperti apa Peran Partai Politik dalam Pengembangan Demokrasi di Daerah ?6
C.   Bagaimana Perwujudan Demokrasi di Daerah Melalui Pendidikan Politik? 9
D.   Apa yang dimaksud dengan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA)? 11
E.   Bagaimana Mengembalikan Kedaulatan ke Tangan Rakyat? 12
F.    Seperti apa Landasan Yuridis di dalam PILKADA?18
G.   Bagaimana Mekanisme Tahapan Pelasanaan Pilkada Langsung?19
H.   Seperti apa Wewenang DPRD dalam Pilkada Langsung?20
I.      Apa tujuan PILKADA, Uji Coba Demokrasi?22
J.    Seperti apa Konsep Pemilukada Mendatang?23
BAB III PENUTUP25
A.   Kesimpulan25
B.   Kritik dan Saran26
DAFTAR PUSTAKAiii




BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah
Kesadaran akan pentingnya demokrasi sekarang ini sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari peran rakyat Indonesia yang dalam melaksanakan Pemilihan Umum dengan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya yang sedikit. Pemilihan umum ini langsung dilaksanakan secara langsung pertama kali untuk memilih presiden dan wakil presiden serta anggota MPR, DPR, DPD, DPRD di tahun 2004. Walaupun masih terdapat masalah yang timbul ketika waktu pelaksanaan. Tetapi masih dapat dikatakan suses.
Setelah suksesnya Pemilu tahun 2004, mulai bulan Juni 2005 lalu di 226 daerah meliputi 11 propinsi serta 215 kabupaten dan kota, diadakan Pilkada untuk memilih para pemimpin daerahnya. Sehingga warga dapat menentukan peminpin daerahnya menurut hati nuraninya sendiri.
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 32 tahun 2004) merupakan Undang-Undang (UU) yang mengatur secara gamblang tentang Pemerintahan Daerah (Perda). Terkait dengan UU ini saat ini sedang hangat diperbincangkan tentang “Pemilihan Kepada Daerah oleh DPRD”. Jika dikaitkan dengan demokrasi yang mana pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemahaman sederhana yang dapat digambarkan atas sebuah demokrasi. Demokrasi ini dituangkan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945), yaitu “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang”.
Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). DPRD adalah wakil rakyat yang dipilih rakyat untuk mewakili aspirasi mereka di pemerintahan. Jika dilihat dari pengertian demokrasi itu sendiri dimana terdapat demokrasi secara tidak langsung (representatif demokrasi). Memang dimungkinkan terjadinya pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Namun saat ini hal ini masih menjadi pertentangan karena jika disandingkan juga dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi “Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Dalam pasal tersebut kata “langsung” ditafsirkan dan juga mengkehendaki dilakukannya pemilihan kepala daerah oleh rakyat secara langsung. Dimana setiap warga negara memiliki hak suara untuk individu yang telah memenuhi syarat. Alasan lain yang menjadi faktor lahirnya wacana ini adalah masalah finansial. Dana yang digunakan untuk setiap pemilihan kepala daerah memang terbilang besar. Jika dana tersebut dialihkan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat tentu akan lebih baik. Tetapi terdapat juga kubu kontra untuk wacana tersebut yang memandang akan mudahnya terjadi jual beli suara antara setiap oknum yang berkepentingan untuk berkuasa di tingkat daerah.
Untuk itu perlu dikaji lebih mendalam mengenai wacana yang sedang hangat diperdebatkan di nasional. Disamping itu sebagai bahan pembelajaran dalam materi “Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah” maka kasus tersebut diangkat sebagai perbandingan antara teori dan fakta dilapangan. Perlu juga ditemukan solusi untuk setiap permasalahan tersebut.

B.   Rumusan Masalah
1.       Bagaimana Pengembangan Demokrasi di Daerah ?
2.       Seperti apa Peran Partai Politik dalam Pengembangan Demokrasi di Daerah ?
3.       Bagaimana Perwujudan Demokrasi di Daerah Melalui Pendidikan Politik?
4.      Apa yang dimaksud dengan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA)?
5.       Bagaimana Mengembalikan Kedaulatan ke Tangan Rakyat?
6.       Seperti apa Landasan Yuridis di dalam PILKADA?
7.       Bagaimana Mekanisme Tahapan Pelasanaan Pilkada Langsung?
8.       Seperti apa Wewenang DPRD dalam Pilkada Langsung?
9.       Apa tujuan PILKADA, Uji Coba Demokrasi?
10.   Seperti apa Konsep Pemilukada Mendatang?
C.   Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini, agar pembaca da khususnya kami yang membuat lebih mengetahui dan memahami seperti apa perkembangan demokrasi di daerah kita juga bagaimana pelaksanaan pemilihan kepala desa yang sesuang dengan Undang-Undang yang berlaku. Juga kita dapat melihat spserti apa praktek di luar sana agar nanti kita sudah terjun di masyarakat sudah mengenal sedikit tentang demokrasi dan pemilihan kepala daerah di daerahnya.





BAB II
PEMBAHASAN
A.       Pengembangan Demokrasi di Daerah
            Kata demokrasi terkesan sangat akrab dan seakan sudah dimengerti begitu saja. Dalam banyak perbincangan-mulai dari yang serius sampai yang santai dimeja makan-  kata demokrasi sering terlontar. Namun apa dan bagaimana sebenarnya makna dan hakikat substansi demokrasi mungkin beluim sepenuhnya dimengertio dan dihayati, sehingga perbincangan tentang demokrasi bisa saja tidak menyentuh makna dan hakikat substansi serta dilakukan secara tidak demokratis. Untuk itu bagian ini menjelaskan tentang apa sebenarnya makna dan hakikat demokrasi.
      Demokrasi sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan aktivitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa negara. Seperti diakui oleh Moh. Mahfud MD, dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara.Pada dasarnya, tidak ada perbedaan prinsip demokrasi antara pusat dan daerah dan tidak pula dibatasi oleh ruang dan waktu. Pelasanaan demokrasi di daerah[1] juga sama dengan yang terjadi dan berkembang secara nasional untuk kepentingan pemerintah pusat. Meskipun demikian, perkembangan demokrasi ternyata mengalami modifikasi berulang-ulang sehingga teori dan praktik, terutama antarawilayah tertentu mempunyai perbedaan sesuai persepsi dan kepentingan masing-masing. Adapun antara pusat dan daerah masih ada nuansa yang membedakan. Misalnya peran yang dimainkan, sumber daya manusia, fasilitas dan sebagainya yang lebih bersifat teknis.
            Pelaksanaan demokrasi ditingkat pusat di Jakarta yang dilakukan oleh aparatur, badan perwakilan, orpol, ormas dan sebagainya dapat berpengaruh luas ke seluruh wilayah. Adapun pada tingkat daerah, demokrasi dilakukan oleh aparatur, badan perwailan, orpol, ormas atau badan-badan swasta/pemerintahan dan lainnya ditingkat daerah yang mungkin hanya efektif berpengaruh bagi daerah bersangkutan
Ukuran demokratisasi untuk sementara dapat dilihat dari cara pelaksanaan demokrasi itu dilakukan oleh aparatur pemerintahan, badan perwakilan, badan pemerintahan atau swasta sesuai tingkatannya masing-masing. Dikatakan sementara karena ada asumsi sebagai para ahli bahwa adanya proses demokratisasi dilingkungan aparatur, badan perwakilan, badan atau organisasi politik, ormas, dan sebagainya belum sepenuhnya menjamin bahwa negara, daerah atau organisasi yang bersangkutan telah menjalankan organisasinya secara demokratis. Adapun proses demokratisasi yang baik dan benar atau idealnyaadalah melibatan rakyat atau anggota ataupun para pemimpin juga pejabat pada semua tingkatan agar membiasakan diri untuk menghormati pandangan atau pendapa orang lain yang berbeda-beda. Demokrasi adalah sikap menerima segala sesuatau yang kita tidak setujui. Dengan demiian demokrasi yang diharapkan adalah demokrasi yang dilakukan bukan saja oleh para pemimpinnya, melainkan dilakukan juga oleh rayat atau anggota organisasi secara sadar, bahan sudah sudah waktunya proses demokratisasi itu tersosialisasi dalam kehidupan sehari-hari.[2]
Berdasarkan pemahaman diatas, dapat dikatakan bahwa demokrasi yang berlangsung pada suatu negara secara nasional tidak akan berfungsi jika demokrasi tidak dipraktikkan pada tingkat-tingkat yang lebih terbatas, yaitu pada pemerintahan di daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, bahkan tidak menutup kemungkinan yang lebih dekat proses demokrasi berlangsung di desa.[3]
B.        Peran Partai Politik dalam Pengembangan Demokrasi di Daerah
            Transisi demokras yang sedang terjadi telah melahirkan implikasi yang beraga, baik yang bersifat positif, maupun  tak terkecuali melahirkan hal-hal yang sifatnya negatif. Ketika muatan demokrasi tidak diarahkan pada esensi yang sesungguhnya, sepanjang itulah demokrasi akan lebih terlihat dengan wajah yang sangat garang, penuh teka-teki dan tidak jarang juga destruktif dan anarki.
            Dalam konteks pemahaman seperti itulah, kita bisa menyebut bahwa demokrasi kita sedang bergolak, khususnya pasca tumbangnya rezim otoritarianis Orde Baru. Kemampuan kita sebagai bangsa negara untuk keluar dari rintangan-rintangan tersebut merupakan pertanda awal bahwa demokrasi ita sedang dan akan tumbuh didalam alam yang subur. Sebaliknya, jika perintang-perintang bagi proses pembumian demokrasi itu tidak dapat diatasi, demokrasi kita akan jatuh pada lubang yang sama, yaitu penyanderaan demokrasi.[4]
            Dalam upaya pemberdayaan kultur politik rakyat yang demokratis yang kini seang berjalan, harus diadakan upaya sungguh-sungguh untuk menciptakan perangkat pegawasan  lembaga eksekutif yang disertai dengan pengawasan sosial, hal ini diperlukan suatu sistem checks and balances (pengawasan dan keseimbangan) yang jelas dan efektif. Maknanya adalah bahwa dalam melaksanakan tugas-tugasnya, eksekutif harus diawasi agar tidak melampaui batas-batas wewenangnya atau untuk mencoba melakukan akumulasi kekuasaan. Oleh karena itu, DPR dan Mahkamah Agung (MA) melakukan pengawasan terhadap eksekutif. Sebaliknya, agar agar lembaga legislatif dan lembaga yudikatif tidak semena-mena dalam membuat larangan atau menerapkan pengawasan, harus diberikan seperangkat ketentuan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan oleh DPR dan MA. Semua lembaga mampu saling menjaga dan melakukan semua tugasnya secara optimal.
            Realita perpolitikan kita, kususnya pasca-1998, roda reformasi dan demokrasi yang kemudian sebagian diserahkan kepada partai politik yang memang sebagai salah satu pilar demokrasi ternyata tidak berjalan mulus. Kontrak demokrasi antara rakyat dan partai politik melaui pemilu menjadi merenggang. Salah satu penyebabnya adalah parpol kita tidak mampu mengelola isu demokrasi dengan bijak dan jelas pada tingkat internal partai untuk kemudian memformulasikannya dengan kebijakan parpol. Partai politik sebagai pilar demokrasi justru menjadi faktor yang menghambat.
            Parpol adalah salah satu dari infrastruktur politik , sedangkan infrastruktur politik di Indonesia meliputi keseluruhan kebutuhan yang diperlukan dibidang politi dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas yang berkenaan dengan asal mula,bentuk dan proses pemerintahan dalam suatu negara. Dengan bercermin pada hal tersebut, setidaknya ada dua alasan untuk mengatakan bahwa parpol kita berada dalam bahaya. Pertama, belajar dari pengalaman pada pemilu-pmilu yang telah berlangsung, parpol lebih condong kepada perlauan untuk mengeksploitasian kehendak rakyat daripada sebagai media dari perjuangan kepentingan.[5] Kedua, parpol terkesan seperti sebuah perluasan kepentingan segelintir orag daripada penyederhanaan kepentingan bersama. Parpol seolah-olah dibuat hanya untuk mengadopsi kepentingan elite. Parpol mirip perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh individu atau kelompok.
            Fenomena ini tentunya tidak sesuai dengan tujuan terbentuknya parpol, yaitu sebagai sekelompok manusia yang terorganisasi dan stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan pemerintahan bagi pimpinan partai, yang berdasarkan penguasaan ini, akan memberikan manfaat bagi anggota partainya, baik idealisme maupun kekayaan materiil serta perkembangan lainnya.[6]
            Dalam konteks kekinian, realita seperti ini terlihat jelas dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada). Sekali lagi, pemaknaan demokrasi oleh elite parpol kita dalam pelaksanaan pilkada ini tampaknya kurang membumi. Kata demokrasi hanya tertera diatas kertas. Belum sampai pada tingkat praksis, bahkan tampak bahwa demokrasi telah direduksi.
            Di Indonesia pada saat ini peran partai politik terlihat sangat dominan dalam menentuan kebijakan-kebijakan negara yang tertuang pada Undang-Undang. Pemilihan Umum Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada di beberapa provinsi dan kabupaten/kota telah atau mulai dilaksanakan pada tahun 2010 dan 2011. “Pertarungan kekuasaan” yang dihelat di tingkat daerah seperti dalam pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota beserta wakilnya cukup antusias dilakukan dan ditemui beberapa fenomena menarik perhatian sehingga layak untuk selintas ditelaah. Tahun 2010 merupakan ajang pilkada langsung kedua setelah pilkada oleh rakyat dilaksanakan pada tahun 2005. Setidaknya pada tahun 2010 telah dilakukan 244 pilkada yang digelar di seluruh Indonesia. Tujuh pilkada untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, dan Jambi. Sisanya sebanyak 202 pilkada kabupaten dan 35 kota Salah satunya dengan disahkannya revisi terhadap Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1999 menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah oleh DPR-RI dan sekaligus merekomendasikan bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung dimulai Juni 2005.[7]
C. Perwujudan Demokrasi di Daerah Melalui Pendidikan Politik
            Salah satu fungsi parpol yang hampir terlupakan adalah melakukan pendidikan politik bagi rakyat. Hal ini sangat penting dalam mendewasakan partai dalam berdemokrasi. Artinya, proses pencerdasan rakyat merupakan salah satu misi yang harus dilaksanakan oleh setiap partai politik. Dengan demikian partai politik sebagai salah satu pilar dalam pembangunan demokrasi dapat berlangsung dengan baik. Selain itu, demokrasi yang kita idam-idamkan akan bekerja dalam bingkaian partai politi yang mengutamakan pendidikan politik bagi rakyat.
            Demokrasi dan pendidikan politik atau upaya-upaya pencerdasan rakyat berada pada jalur yang searah. Kita boleh menyebutkan bahwa didalm upaya-upaya pendidikan politik bagi rakyat, terdapat kesungguhan untuk menguatkan kolerasi antara demokrasi dan partai politik sebab didalamnya terdapat upaya-upaya pencerdasan rakyat akan realita politik. Dengan demikian, rakyat bukan hanya mampu melihat, melainkan juga mampu memberikan kontribusi dalam persoalan-persoalan politik, terutama yang menyangkut pergolakan kehidupannya sehari-hari.
            Oleh karena itu, sebelum parpol tampil dihadapan publik, termasuk dalam pemilu pilkada, sepatuhnya ia harus mampu mengelola dirinya sendiri. Artinya, perebutan “kekuasaan” dalam internal partai harus berlangsung dengan jujur dan baik. Selain itu, ia mampu menggalakkan pendidikan politik bagi konstituennya yang ada di daerah-daerah.
            Prinsip dan model demokrasi dalam pemerintahan, hampir semua negara menyatakan dirinya demokratis. Setiap orang tak terkecuali senantiasa menyatakan bahwa dirinya demokratis. Semua pihak yang mengendalikan pemerintahan juga menyatakan pihaknya sangat demokratis. Karena semua pihak menyebutnya demokratis padahal praktiknya kadang-kadang dan seringkali menangkapi dan menjebloskan orang-orang yang berbeda pendapat dengannya ke dalam sel-sel penjara. Istilah demokrasi nampaknya merupakan emosional bagi setiap orang, setiap pihak, setiap parpol, setiap negara terhadap suatu sistem institusi politik yang benar-benar memenuhi hasrat dan seleranya.
            Demokrasi nampaknya tidak bisa dipisahkan dari pembahasan hal-hal yang berkaitan dengan tata kepemerintahan dan kegiatan politik. Semua proses politik dan lembaga-lembaga pemerintahan berjalan seiring dengan jalannya demokrasi.[8]


D. Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA)
Hasil amandemen Undang – Undang Dasar 1945 telah membawa perubahan besar pada sistem ketatanegaraan[9] indonesia. Salah satu perubahan itu terkait dengan pengisian jabatan kepala daerah. Pasal 18 ayat 4 UU no 45 menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati dan Wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.”
            Frasa “ dipilih secara demokratis” bersifat luas, sehingga mencakup pengertian pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat ataupun oleh DPRD seperti yang pada umumnya pernah dipraktikan diidaerah-daerah berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.[10] Dalam perspektif filosofis, munculnya gagasan tentang pilkada secara langsung itu pada dasarnya merupakan proses lanjut dari keinginan kuat untuk memperbaiki kualitas demokrasi didaerah-daerah yang sedang dimulai. Pemilihan Kepala Daeah secara langsung diharapkan dapat melahirkan pemimpin yang kredibel dan di dukung oleh rakyat. Pilkada secara langsung juga diharapkan bisa manjadi instrument pergantian politik, dimana orang terbsik didaerah bisa tampil. Secara normatif, berdasarkan ukuran-ukuran demokrasi, pilkada langsung menawarkan sejumlah manfaat dan sekaligus harapan bagi pertumbuhan,  pendalaman dan perluasan demokrasi lokal.
            Pilkada langsung memang terlalu memakan biayas yang sangat besar karena paling tidak banyak anggaran daerah (APBD) yang akan dikonsentrasikan pada proses pilkada langsung. Konsentrasi dana yang pertama untuk pemilihan Gubernur di tingkat provinsi. Kedua, konsentrasi anggaran pada tingkat  pemilihan Bupati/Walikota. Disamping itu, munculnya persaingan baru antara calon independen dan kandidat ysng diusung partai politik (kader partai ataupun nonkader partai).[11]
E. Mengembalikan Kedaulatan ke Tangan Rakyat
            Salah satu tujuan reformasi adalah untuk mewujudkan suatu Indonesia baru, yaitu Indonesia yang lebih demokratis. Hal ini bisa dicapai dengan mengendalikan kedaulatan ke tangan rakyat. Selama ini, baik semasa Orde Baru maupun di Era Reformasi, kedaulatan sepenuhnya berada di tangan lembaga-lembaga eksekutif dan di tangan lembaga legislatif. Bahkan di era reformasi ini, kedaulatan seolah-olah berada di tangan partai politik, melalui fraksi-fraksinya di MPR dan DPR, dapat melakukan apapun yang berkaitan dengan kepentingan bangsa dan negara, bahkan dapat memberhentikan presiden sebelum berkhir msa jabatannya, seperti layaknya pada negara dengan sistem Presidensil. Di daerah-daerah, DPRD melalui pemungutan suara dapat menjatuhkan kepala daerah sebelum berakhir masa jabatannya.
            Satu-satunya hak politik yang masih dimiliki rakyat adalah memberikan suara pada saat pemilu berlangsung. Sesudah itu hak politik yang dimiliki rakyat beralih kepada partai politik sehingga rakyat tidak memiliki apa-apa lagi, bahkan sudah dilupakan sama sekali. Untuk mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, sistem pemilu harus diubah dengan sistem yang memberi peluang kepada rakyat pemilih untuk dapat menggunakan hak pilihnya secara langsung. Melalui amandemen UUD 1945 dengan menambahkan Pasal 6A dan Pasal 22E, sistem pemilu kita diubah menjadi pemilu secara langsung, baik untuk pemilu legislatif maupun untuk pemilu presiden dan wakil presiden.
            Untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, daerah yang sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam melaukan pemilihan kepala daerah dan wakilnya seharusnya sinkron dengan pemilihan presiden dan wakilnya juga, yaitu pemilihan secara lngsung. Disamping alasan tersebut diatas, ada beberapa alasan lain yang mengharuskan kita melaukan pemilihan secara langsung, yaitu sebagai berikut :
a.       Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. Yaitu, warga masyarakat didaerah juga berhak atas kedaulatan yang merupakan hak asasi mereka. Oleh karena itu, warga masyarakat di daerah harus diberi kesempatan untuk ikut menentukan masa depan daerahnya masing-masing antara lain dengan memilih kepala daerah dan wakilnya secara langsung.
b.       Legitimasi yang sama antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan DPRD. Dalam pemilu Legislatif 6 April 2004 yang lalu, anggota DPRD dipilih secara langsung oleh rakyat pemilih melalui sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Apabila kepala daerah dan wakilnya tetap dipilih oleh DPRD, bukan dipilih langsung oleh rakyat, tingkat legitimasi anggota DPRD jauh lebih tinggi daripada tingkat legitimasi yang dimiliki kepala daerah dan wakil kepala daerah.
c.       Kedudukan yang sejajar antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan DPRD
d.       UU. No. 22 Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD. Kewenangan DPRD untuk memilih kepala daerah dan wakilnya sudah dicabut. Kewenangan yang ada pada DPRD adalah mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan kepala presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
e.       Mencegah Terjadinya Politik Uang. Pada era berlakunya UU No. 22 Tahun 1999, sering kita dengar isu mengenai terjadinya politik uang dalam proses pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Hal ini sudah merupakan rahasia umum dan terjadi hampi disemua daerah. Masalah politik uang ini dimungkinkan terjadi karena begitu besarnya wewenang yang dimiliki oelh DPRD dalam proses pemilihan kepala daerah. Dengan dilakukannya pilkada secara langsung kemungkinan terjadinya politik uang ini dapat di cegah atau setidak-tidaknya bisa dikurangi. Apabila masih ada pihak-pihak yang ingin melakukannya, mereka akan berhadapan dengan para pemilih yang jumlahnya cukup banyak.[12]
            Ketentuan ini memberi peluang untuk diinterprestakikan bahwa pemilihan kepala daerah harus dilakukan secara demokratis. Selama ini proses pemilihan kepala daerah yang diatur berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 No. 151 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara prosedural kewenangannya masih berada ditangan anggota DPRD. Kewenangan yang begitu luas ini tidak diimbangi oleh keterampilan untuk mengartikulasi dan mengagresikan aspirasi masyarakat daerah secara optimal. Banyak kasus praktik politik uang, politik an-sich, dukungan irasional partai politik dan campur tangan elite pejabat dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah semakin memperkokoh pendapat bahwa sebaiknya pemilihan dilakukan secara langsung oleh masyarakat daerah. Dari pelaksanaan Pemilukada di beberapa daerah tersebut nampak banyak hal yang menarik untuk diperhatikan. Berbagai pemberitaan melalui media secara berkelanjutan telah menggambarkan perkembangan demokrasi terutama dalam kaitan dengan dinamika politik lokal. Dimulai dari upaya rekrutmen terhadap tim-tim sukses, konsultan politik, strategi pemenangan hingga penyelenggaraan kampanye Pemilukada – secara umum menunjukkan fenomena komunikasi politik yang nantinya akan memberikan kontribusi terhadap proses perkembangan demokrasi di daerah maupun pada lingkup nasional.
Jika dicermati dari aspek penentuan pilihan, Pemilukada tahun 2010 agak berbeda dibanding waktu-waktu sebelumnya, dilihat dari hubungan antara kandidat dengan pemilihnya ternyata telah mengalami pergeseran atau perubahan yang cukup signifikan. Hal demikian dapat dipahami, terlebih semakin tingginya dinamika sosial politik ditandai peningkatan wawasan warga perihal hidup berbangsa dan bernegara dalam iklim yang berkebebasan dan berkeadilan mengemukakan hak untuk menentukan pilihannya. Tak terkecuali dalam pemilihan kepala daerah di masing-masing provinsi, kabupaten/kota menunjukkan sikap kekritisan calon pemilih yang semakin meningkat.
Semakin meningkatnya wawasan warga sesungguhnya secara langsung berkorelasi dengan sikap dan perilaku politik masyarakat itu sendiri. Kalau pada waktu Pemilukada sebelumnya (tahun 2005/2006) nampak dominasi dilakukan oleh kalangan komunikator politik, kandidat dan segenap tim suksesnya untuk memengaruhi khalayak/calon pemilih, sehingga yang terjadi lebih pada ikatan ideologi tertentu, kedekatan primordial, bahkan tekanan politik oleh pihak-pihak tertentu dalam merebut suara pemilih. Namun, sekarang situasi dan kondisi serta perkembangan perpolitikan di negeri ini sudah menunjukkan gejala perubahan, cara-cara konvensional yang diwarisi rezim orde baru tidak lagi banyak ditemui dan boleh dikatakan kurang efektif dalam mempengaruhi atau meraih suara massa.
Di era kekinian, masyarakat (pemilih) sudah tidak bodoh dan tidak bisa dibodohi dalam menentukan pilihan politiknya. Ketika hendak memilih pimpinannya di tingkat daerah pun sudah mulai memperhitungkannya segala sesuatunya secara cermat dan melalui pertimbangan lebih matang. Dalam situasi demikian, bahasa propaganda politik praktis maupun retorika yang penuh jargon-jargon dan hanya mengumbar janji serta menjual mimpi sudah tidak diperdulikan lagi. Pemilih lebih memerhatikan pertimbangan-pertimbangan yang rasional, untung-rugi melalui kalkulasi maupun prediksi politik ke depan. Ada kecenderungan yang mengarah bahwa tujuan akhir Pemilukada bukanlah sekadar terpilihnya pasangan kandidat yang diusung oleh partai atau koalisi partai maupun calon independen. Kini pemilih lebih tertarik dan mendukung calon kepala daerah yang nantinya mampu memenuhi kesejahteraan rakyat melalui kebijakan yang pro rakyat. Fenomena ini sekaligus mengindikasikan bahwa proses demokrasi yang terbangun (secara lambat laun) akan cenderung menuju pada tataran demokrasi substansial.
Salah satu konsekuensi dari kondisi politik demikian, selanjutnya akan memberikan kontribusi positif dalam upaya pengembangan sistem demokrasi di tingkat lokal. Siapapun kandidat yang masuk ke dalam kancah pemilihan kepala daerah, sangat dimungkinkan menjadi sulit ditebak atau diprediksi untuk memenangi Pemilukada yang kelak di kemudian hari akan menduduki jabatan pimpinan tertinggi di daerahnya.
            Adapun semangat yang mendasari perlunya pilkada secara langsung oleh rakyat daerah tidak terlpat dari latar belakang sebagai berikut.
1.       UU No. 22 Tahun 1999 dan aturan pendukung lain di bawahnya sudah tidak sesuai lagi dengan perubahan sistem ketatanegaraan karenanya adanya amandemen UUD 1945, terutama pada pasal 18 ayat 4 yang menyatakan bahwa gubernur, bupati dan walikota dipilih secara demokratis.
2.       Adanya tuntutan dari masyarakat yng enghendaki kepala daerah dipilih secara langsung dengan keyakinan bahwa pemimpin yang terpilih nanti akan mapu membawa masyarakat daerah menuju perbaikan dan kemakmuran. Selama perlakuan UU No. 22 Tahun 1999 aspirasi rakyat daerah terabaikan khususnya keinginan terhadap pemerintahan daerah yang bersih dan bertanggung jawab, tidak KKN, dan keseimbangan dalam keadilan.
3.       Adanya politik kepentingan yang dilaukan oleh para anggota DPRD terutama pada penyampaian LPJ dan pemilihan kepala daerah.
Dari ketiga latang belakang tersebut diatas, yang paling dominan dan yang merupakan keinginan mendasar dari masyaraat adalah munculnya pimpinan yang betul-betul mampu membawa masyarakat daerah menuju perbaikan dan kemakmuran, pemimpin yang arif dan bijak.[13]



F. Landasan Yuridis
            Adanya kekurangan dalam UU No. 22 Tahun 1999 telah disadari oleh para wakil wakil rakyat yang duduk di MPR RI dengan malahirkan ketetapan MPR No. IV/MPR/2000 tentang rekomendasi kebijakan dan penyelenggaraan otonomi daerah. Disamping itu, adanya amandemen UUD 1945 yang telah mengubah Bab IV tentang Pemerintahan Daerah dengan Pasal 18, Pasal 18 A, Pasal 18 B. Peubahan UU No. 22 Tahun 2003 yang didalamnya tidak lagi tercantum kewenangan DPRD untuk memilih kepala daerah. Pilkada secara langsung juga dijiwai oleh Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD” dan Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 “Gubernur dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis”. Ketentuan-ketentuan inilah yang menjadi dasar hukum secara umum bagi pelaksanaan pilkada secara langsung.
            Secara operasional pelaksanaan pilkada secara langsung telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 pada Bab IV Bagian Kedelapan Pasal 56 sampai dengan Pasal 119 dimulai dari paragraf kesatu tentang pemilihan sampai paragraf ketujuh tentang ketentuan pidana. Kemudian UU No. 12 Tahun 2003 menyatakan KPUD sebagai penyelenggara pilkada dan UU No. 22 Tahun 2003 yang menyatakan DPRD sebagai pengawas dengan membentuk panitia pengawas.



G. Mekanisme Tahapan Pelasanaan Pilkada Langsung
            Sama seperti pemilu legislatif dan pemilu presiden, pilkada juga mempunyai mekanisme tahapan pelaksanaan yang diatur melalui UU No. 32 Tahun 2004 walaupun peraturan pemerintah khusus pilkada yang merupakan pedoman teknis pelaksanaan pilkada sampai dengan awal tahun 2005 ini belum selesai juga.
            Mengacu kepada UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 65 ayat 1 mekanisme tahapan pelaksanaan pilkada terdiri dari masa persiapan dan tahap pelaksanaan.
a.      Masa persiapan sebagaimana tercantum pada Pasal 65 ayat 2 meliputi
·         Pemberitahuan DPRD kepada kepala daerah mengenai berakhirnya masa jabatan;
·         Pemberitahuan DPRD kepada KPUD engenai berahirnya masa jabatan kepala daerah;
·         Perencanaan penyelenggaraan;
·         Pembentukan PANWA, PPK, PPS dan KPPS;
·         Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau.
b.      Tahap pelaksanaan pilkada sebagaimana tercantum pada Pasal 65 ayat 3 meliputi:
·         Penetapan daftar pemilih;
·         Pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah/wakil kepala daerah;
·         Kampanye;
·         Pemungutan suara;
·         Perhitungan suara;
·         Penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil wail kepala daerah terpilih, pengesahan dan pelantikan.
            Pasal 65 ayat 1 dan 2 diatas yang mengatur mekanisme tahapan pilada merupakan aturan dasar secara umum yang menggambarkan langkah-langkah pelaksanaan pilkada langsung.
H. Wewenang DPRD dalam Pilkada Langsung
            Berdasarkan Pasal 66 ayat 3 DPRD mempunyai beberapa kewenangan dalam penyelenggaraan pilkada, yaitu:
·        Memberitahukan kepala daerah mengenai berakhirnya masa jabatan;
·        Mengusulan pemberhentian kepaa daerah dan wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya serta mengusulkan pengangkatan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih;
·        Melakukan pengawasan pada semua tahapan pelaksanaan pemilihan;
·        Meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD;
·        Menyelenggarakan rapat paripurna untuk menyampaikn visi, misi dan program dari pasangan calon kepala daerah dan wakilnya.
Dari beberapa kewenangan yang dimiliki oleh DPRD dalam rangka pelaksanaan pilkasa langsung ada dua kewenangan yang menimbulkan persepsi masyarakat bahwa UU NO. 32 Tahun 2004 masih prematur dan dipaksakan untu diterapkan
Kedua wewenang tersebut adalah sebagi berikut:
a.      Meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD. Yang mana telah kita ketahui bahwa KPU adalah lembaga yang mandiri yang bertugas melaksanakan pemilu secara nasional dan di daerah dilaksanakan oleh KPUD-KPUD. Secara hierarki strutural, KPUD bertanggungjawab kepada KPU pusat terutama dari segi teknis pelaksanaan pemilu. Pada pilkada nanti, apabila secara teknis pelaksanaannya KPUD bertanggungjawab epada DPRD maka kemandiriannya akan diragukan. KPUD dapat saja bertanggung jawab kepada DPRD tetapi hanya sebatas penggunaan dan pemanfaatan anggran pilkada.
b.      Menyelenggarakan rapat paripurna untuk menyampaikan visi, misi dan progra pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah. Di dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat 2 telah nyata bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilasanakan menurut UUD. Inilah yang menjadi jiwa bagi keinginan adanya pilkada secara langsung oleh masyarakat daerah. Pemilihan langsung adalah bentuk dari demokrasi langsung yang berbeda dengan demokrasi perwakilan yang prosesnya dilakukan melalui pihak kedua, yaitu lembaga perwakilan atau DPRD. Pada proses pelaksanaan pilkada langsung, rakyat masih belum dapat menentukan siapa calon pemimpin mereka karena kepentingan partai politik terhadap keberadaan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah masih kental.




I.          PILKADA, Uji Coba Demokrasi
Inti demokrasi adalah kebebasan dan kemerdekaan. Kebebasan bermakna seorang warga negara berhak menentukan apa pilihannya. Sedangkan kemerdekaan berarti ia mempunyai kewenangan penuh untuk berbuat tanpa tekanan dan intimidasi apapun. Dengan menjamin kebebasan dan kemerdekaan yang dimiliki setiap individu berarti negara telah mengawal demokrasi sejati.
Dalam konteks pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, 5 juli dan 20 september 2004 lalu merupakan momentum bersejarah, setelah sekian lama dibelenggu dengan pemilihan perwakilan. Padahal sistem satu orang satu pilihan adalah substansi demokrasi terdalam. Urgensi pilkada yaitu dimana pilkada langsung merupakan babak baru sekaligus momentum politik penting bagi kesinambungan sejarah masa depan demokrasi di Indonesia. Oleh sebab itu, tidak boleh disia-siakan oleh segenap komponen bangsa. Keberhasilan menyelenggarakan pilkada langsung diharapkan berpengaruh kepada peningkatan kualitas berdemokrasi di daerah itu sendiri. Tentu saja pilkada langsung ini menjadi modal dasar yang berharga, bagi proses-proses pembangunan di segala bidang. Pilkada langsung ini sebagai proses pembelajaran demokrasi ditingkat lokal harus siring dengan bergulirnya kebijakan otonomi daerah. Tegasnya, dengan otonomi langsung otonomi daerah mesti masimal sehingga hasilnya bisa dinikmati oleh masyarakatnya. Karena pilkada langsung merupakan pintu masuk terciptanya demokrasi dengan adanya pemerdayaan semua potensi masyarakat. Kesatuan berbagai elemen individu dalam masyarakat inilah yang diharapkan mempercepat terciptanya pemerataan atau keadilan dalam semua aspek kehidupan masyarakat. Tanpa proses keterlibatan masyarakat dalam berbagai rumusan atau kebijakan yang dijalankan akan susah bagi daerah itu bangkit dan mengejar ketertinggalan.
Masyarakat pun begitu antusias memyongsong penyelenggaraan pilkada langsung ini kegairahan masyarakat tidak saja berkaitan dengan terbukanya kesempatan dalam memilih dan menentukkan secara langsung kepala daerahnya, melainkan juga berkenaan dengan begitu besar begitu besar harapan terhadap para kepala hasil pilkada langsung. Ekspektasi ini wajar karena sekian lama, masyarakat daerah selalu kecewa pada praktik pemerintah lokal. 
Pilkada merupakan sebuah hajatan demokrasi ditingkat lokal dan barang baru di republik ini. Ia membawa sejumlah konsekuensi bagi sejumlah penyelenggara di daerah, terutama bagaimana menggelar pilkada dengan aman dan lancar.[14]     
J. Konsep Pemilukada Mendatang
            Masalah efektif dan efisiensi pilkada langsung tidak semata dipandang karena  besarnya biaya. Efisiensi perlu pula menjawab persoalan rendahnya kepercayaan (trust) dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari kinerja kepala daerah terpilih. Pelaksanaan demokrasi yang dinilai mahal, dapat diefisiensikan dengan  berbagai cara, sepanjang tidak merusak nilai-nilai demokrasi. Sehingga pasca pilkada akan membentuk sebuah pemerintahan daerah yang efektif (effective goverment).
            Dalam kaitanyya denga pilkada langsung, UU No. 32 Tahun 2004 tidak menjelaskan makna”efisiensi dan efektivitas” dalam pelaksanaaan pilkada langsung. Efisiensi dan efektivitas dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 baru diletakkan sebagai 2 (dua) asa dari 9 (sembilan) Asas Umum Penyelenggaraan Negar sebagiaman diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004.
            Bila pilkada tidak dibuat lebih efisiensi dan efektif, dikhawatirkan sumber daya pemerintah lebih banyak terkuras membiayai prosedur demokrasi semata dan melupakan substansi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. Selama ini waktu dan sumber daya sudah banyak habis terkuras untuk penyelenggaraan pemilu yang bertingkat-tingkat itu akhirnya jurang kesenjangan semakin melebar karena pemerintah hanya memiliki sedikit waktu memikirkan nasib rakyat.
            Di lain sisi, buah dari pilkada yang tidak efesien dan efektif tersebut juga tidak banyak membawa perubahan. Oligarki kekuasaan dari kelompok elit masih terus berlangsung. Praktik korupsi semakin menggila di lembaga legislatif berbentuk studi banding, kunjungan kerja dan berbagai aktivitas pemborosan lainnya yang sangat jauh dari harapan rakyat.







BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Proses demokrasi dalam pemilihan (democratic elections) kepala daerah secara langsung diikut oleh demokrasi dalam regulasi pilkada (electroral policy-making) pasca pilkada. Pilkada ternyata berimplikasi terhadap pertembuhan demokrasi dan jalannya pemerintahan di daerah. Praktik ketatanegaraan di daerah pasca pilkada, munculnya pemerintahan yang terbelah (divided government) di daerah karena ketika pencalonan diusulkan oleh partai politik yag memiliki suara sedikit  pencapaian tujuan otonomi daerah. Indeks kemakmuran rakyat (human development Index-HDI) dalam beberapa tahun terakhir memperkuat opini tersebut. Implikasi lainnya adalah terhadap akuntabilitas kepala daerah.
Pilkada memuncul model Tripel Acountanillity, di samping bertanggng jawab kepada pemerintah (pusat), kepala daerah secara tida langsung juga harus bertanggung jawab kepada DPRD dan masyarakat. Di banyak daerah, prakti-praktik-pratik hubungan kepala daerah dan DPRD cenderungn terjadi fluktuasi (ketidakseimbangan). Di samping itu, sebagai sebuah proses demokrasi, dari segi penganggaran,  ternayata pilkada berimplikasi terhadap pos keuangan daerah. Selain persolan-persoalan diatas, sistem pilkada langsung cenderung memunculkan persoalan disharmonisasi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dibanyak daerah tejadi revitalistas yang dipicu oleh perbedaam ideologi, faktor individu, ketidakjelasan wewenang Wakil Kepala Daerah. Disharmoniasi ini emakin meruncing menjelang 2 tahun terakhir masa jabatan, apalagi salah satu (atau kedua) mancalonkan lagi (incumbent)
Dalam konteks pertumbuhan demokrasi di tingkat lokal, tetapi tetapi selain, pasca pilkada, terdapat persoalan menyangut bubungan kepala daerah terpilih dengan DPRD dan masyarakat. Kesan yang muncul, setelah setelah terpilih. Kepala daerah tidak memiliki pola hubungan yang jelas dengan masyarakat. Apalagi UU Nomor 32 Tahun 2004  dan PP Nomor luar persoalan diatas, praktik lima tahun lebih pilkada di daeah berimplikasi terhadap konflik sosial dan kelembagaan. Ini jelas kemunduran dalam pelaksanaan pilkada.
Pilkada yang demokratis, jujur dan adil (free and fair elections) dapat tercapai apabila tersedia apabila tersedia perangkat hukum yang mengatur semua proses pelaksanaan pilkada, sekaligus mampu melindungi para penyelenggara, peserta, kandidat, dibutuhkan regulasi yang mampu mendorong pilkada yang efisiensi dan efektivitas.  Terobosan hukum yang dapat dilakukan antara lain: (1) penggabungan pilkada dengan presiden dan wakil presiden serta pemilu legislatif dalam satu waktu; (2) penghapusan posisi wakil kepala daerah; (3) efisiensi kelembangan dan efektivitas penyelenggaraan pilkada langsung.   
B.       Kritik dan Saran
Pemilukada di daerah kita sebenarnya sudah cukup baik, namun disana terdapat permainan politik yang kotor yang menyelewengkan hak warga untuk memilih tidak sesuai dengan hati mereka sendiri. Yang dilakukan para calon adalah menyuap warganya agar mereka mau memilihnya dengan berbagai cara apapun itu agar dia terpilih dan mereka hanya ingin mengeksistensikan diri mereka sendiri, bukannya menjadi wakil rakyat yang sesungguhnya.
Sebaiknya para calon lebih bekerja dengan jujur, tegas dalam bertindak dan mementingkan warganya, juga diharapkan seorang calon pemimpin tersebut telah memiliki kemampuan yang kompeten, dan tidak hanya mengumbar janjinya saja.



















DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. Rozali, 2005.  Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Jakarta : Rajawali Pers.
Deodatus.  Acry,2007. DPRD dan Demokratisasi Pemerintahan Daerah, Jakaeta : LIPI Press
Kencana . Inu. S dan Azhari, 2005. Sistem Politik Indonesia, Bandung : Refika Aditama
Mahendra, Oka, 1996. Gugatan dari Senayan tentang Pemilu DPR HAM dan Korupsi,  Jakarta : Manikgeni .
Rosidin. Utang, 2010 . Otonomi Daerah dan Desentralisasi, Bandung : CV. Pustaka Setia
Suharizal, 2012. Pemilukada, Jakarta : PT. Raja Grapindo Persada.
Surbakti. Ramlan, 1999.  Memahami Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia
Susanto. Hery, 2005. Menggapai Demokrasi, Jakarta : Republika.
Thoha. Miftah, 2003. Birokrasi Politik Indonesia, Jakarta: PT. Grapindo Persada
Widjaja. Haw, 2013. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grapindo Persada.



[1] Utang Rosidin. Pengembangan Demokrasi di Daerah sebagai Upaya Mewujudkan Negara Kesejahteraan (Welfare State). Halaman 235.
[2] Acry Deodatus, DPRD dan Demokratisasi Pemerintahan Daerah, dalam Syamsuddin Haris, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, LIPI Press, Jakarta, 2007, hlm 116.
[3] Utang Rosidin. Pengembangan Demokrasi di Daerah sebagai Upaya Mewujudkan Negara Kesejahteraan (Welfare State). Halaman 236.
[4] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1999, hlm 19.
[5] Ramlan Surbakti, op. Cit. Hlm 72
[6] Inu Kencana Syafiie dan Azhari, Sistem Politik Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm 77
[7] Haw Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Raja Grapindo Persada, 2013, hlm 118
[8] Prof. Dr. Miftah Thoha,MPA, Birokrasi Politik Indonesia, rajawali pers, Jakarta, 2003. Hlm 98
[9] Sistem ketatanegaraan adalah sesuatu yang berkeaan dengan organisasi negara baik susunan, kedudukan, tugas dan wewenang maupun hubungan antara yang satu dan yang lain. (terpetik dalam; I Gde Pantja Astawa, “Hak angket dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menurut UUD 1945”, disertasi, pascasarjana Unpad Bandung, 2000, hlm 5 )
[10] Jimly Asshiddiqie, konsolidasi naskan UUD 1945 setelah perubahan keempat, puat studi hukum tatanegara UI 2002, hlm 22.
[11] Leo Agustino, Pilkada dan Dinamika Politik lokal, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2009), hlm.12.
[12] Prof. H. Razali Abdullah, S.H, Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, rajawali pers, Jakarta, 2007, hlm 51
[13] Haw Widjaja, Op. Cit., hlm 120-121
[14] Hery susanto, Menggapai Demokrasi,Republika, Jakarta, 2005. Hlm 63

Tidak ada komentar:

Posting Komentar